Tips Menulis

Apa yang Sebaiknya Dilakukan...



Halo teman-teman, kembali lagi dengan tips menulis dari saya. Tulisan ini ada kaitannya dengan tulisan saya sebelumnya yang berjudul: Mengapa Naskahnya Perlu Distirahatkan Setelah Selesai Dibuat? Kamu bisa mengunjungi tulisan saya itu untuk mengetahui apa yang saya bagi di sana. Nah, kali ini, saya akan memberikan kiat-kiat apa saja yang sebaiknya dilakukan saat naskah kita sedang "istirahat". Mengapa kata "istirahat"-nya diberi tanda kutip? Karena, yang dimaksud istirahat di sini adalah saat naskah didiamkan dulu setelah selesai dibuat. Untuk lebih lengkapnya, silakan dibaca artikel yang ada di tautan di atas, ya.

Jadi, ada beberapa hal yang biasanya saya lakukan ketika menyelesaikan naskah dan memasuki tahap "istirahat". Yang paling saya suka (dan saya rekomendasikan) adalah membaca buku. Bukan berarti di luar waktu khusus ini saya tidak membaca buku. Hanya saja, momen istirahatnya naskah (dan penulisnya) adalah saat yang tepat untuk diisi dengan membaca buku. Buku apa yang sebaiknya dibaca? Saran saya, buku yang memiliki genre atau tema sejenis dengan buku yang sedang kita tulis.

Saat sedang merampungkan proses editing terakhir naskah Carisa dan Kiana, saya dipertemukan dengan novel Ada Cinta di SMA. Mengapa akhirnya memutuskan membaca novel itu? Karena saya merasa ada plot yang mirip dengan cerita milik saya yakni tentang pemilihan ketua OSIS. Akhirnya, saya membaca novel itu dan suka. Saya jadi menemukan satu penulis novel favorit baru dari sana. 

Sebenarnya, tebersit keraguan saat mencari bacaan yang sejenis dengan cerita yang kita buat. Bagaimana jika ternyata premis yang saya buat sudah pernah dibuat oleh penulis sebelumnya? Bagaimana jika terdapat banyak sekali kemiripan dengannya? Apa jangan-jangan kita justru akan dituduh memplagiat? Nah, proses banyak membaca ini bisa memberikan banyak pula masukan dan pembuktian pada diri sendiri apakah ternyata kisah kita terlalu pasaran atau tidak. Dari novel Ada Cinta di SMA, untungnya saya tidak mendapatkan kesamaan jalannya cerita. Satu kelegaan muncul setelah membacanya.

Setelah membaca novel itu pula, saya jadi mendapatkan perspektif baru tentang gaya menulis yang menarik, dan yang lebih penting lagi... dinamis. Saya mendapatkan banyak pelajaran menulis dari sana, yang tentu bisa saya aplikasikan pada tulisan saya. Bagaimana caranya "menggerakkan kamera" untuk mengenalkan para tokohnya, bagaimana membuat paragraf menjadi efektif dengan kalimat pendek-pendek, bagaimana membentuk karakter dan menggunakan sudut pandang karakter cowok. Banyak sekali. Mengisi waktu istirahat menulis novel dengan membaca adalah pilihan yang sangat saya anjurkan.

Lantas, bagaimana jika saat momen membaca buku sejenis, kita menemukan ada cerita yang sangat mirip dengan punya kita? Padahal, kita tidak bermaksud untuk plagiat. Kita tidak tahu ada kisah serupa yang sudah dibukukan duluan. Eits, jangan panik dulu. Pertama, kamu harus bersyukur. Kenapa bersyukur? Karena kamu tahunya duluan. Bayangkan jika naskahmu sudah diterima penerbit, atau bahkan sudah terbit, tapi kamu sadarnya belakangan (atau lebih sedih lagi, yang menyadarkanmu adalah pembaca)? Tentu kamu tidak memiliki kesempatan untuk "memperbaikinya" karena naskahmu sudah terbit duluan. Kalau ketahuannya saat momen naskahnya lagi istirahat, kamu masih punya kesempatan dan pilihan untuk nasib naskahmu. Apakah akan merombaknya sedikit hingga premis dan jalan ceritanya sedikit berbeda, atau mempertahankan naskahmu dan berupaya menjadikannya lebih unggul ketimbang novel yang mirip itu. Saran saya, kalau kamu menemukan kejadian seperti ini, sebaiknya naskahmu diubah sedikit. Percayalah, mengubah sedikit jauh lebih mudah ketimbang merombak semuanya. Kamu pasti tahu celah mana yang bisa kamu ubah tanpa mengulang kembali naskah itu. Kamu juga pasti tahu kira-kira mau dibawa ke mana plot ceritamu itu. Kalau masih mentok juga, libatkan orang lain untuk memberikan masukan kepadamu. Tentunya orang itu yang sedikit banyak mengerti dengan apa yang sedang kamu hadapi.

Selain membaca, aktivitas lain yang saya anjurkan adalah menulis. Ya, menulis apa pun, selain menulis naskah yang baru saja selesai dibuat itu. Pokoknya, selama masa istirahat, naskah yang sudah jadi itu jangan diutak-atik dulu. Silakan menulis apa pun, bisa menulis naskah lain, bisa menulis blog, resensi buku, atau apa saja. Saat menulis artikel ini, sebenarnya saya sedang memasuki masa istirahat bagi novel yang baru saja saya selesaikan tiga hari lalu. Jadi, ini sedang memasuki masa transisi sambil mengistirahatkan si naskah yang itu. Aktivitas menulis bisa membuat kita lupa dengan naskah itu, juga bisa memancing untuk siap mengedit jika masa istirahatnya telah selesai. Selain itu, menulis (asal yang ditulis mempunyai manfaat dan kebaikan) juga akan membawa kebaikan pada diri sendiri kelak. Saya percaya dengan mantra tersebut.

Satu lagi yang tak kalah penting sebagai pengisi waktu istirahat adalah: belajar. Barangkali ilmu kita tentang menulis masih kurang, inilah saat yang tepat untuk belajar. Karena, setelah masa istirahat selesai, pekerjaan kita masih banyak. Self-editing adalah fase yang sama pentingnya dengan fase menulis. Memang, saat naskah kita suatu saat nanti diterima oleh penerbit, akan ada editor yang mengedit dan memperbaiki naskah kita. Namun, alangkah jauh lebih baiknya, sebelum draf pertama kita dibaca editor, kita sudah memberikan naskah terbaik, yang rapi, dan kalau bisa tidak ada kesalahan di sana (baik yang berhubungan dengan kelogisan isi cerita, teknik menulis yang baik dan benar, hingga kesalahan pengetikan). Ingat, tugas editor adalah menyempurnakan, bukan memperbaiki. Segala macam proses perbaikan seharusnya sudah selesai saat kita menyerahkan naskah ke penerbit. Sehingga, proses selanjutnya akan lebih mudah.

Apa saja yang perlu kita pelajari di sini? Sebenarnya banyak. Saya bisa memberikan beberapa contohnya, dan teman-teman bisa mencari contoh lainnya sendiri. Misalnya, kita perlu mempelajari apa itu teknik "show not tell". Kita juga perlu belajar lagi kaidah penulisan yang baik dan benar. Mempelajari kata majemuk mana yang dipisah atau disambung, jenis-jenis imbuhan, majas, dan lain sebagainya. Proses belajar ini juga akan bermanfaat tidak hanya saat proses self-editing saja, tapi juga akan memperbaiki tulisan kita pada naskah-naskah selanjutnya. 

Terakhir, tidur. Nah, bagi kalian yang suka begadang untuk menyelesaikan naskah, apalagi jika mengerjakan naskahnya mencuri-curi waktu di sela kesibukan lainnya, momen istirahat bisa diisi dengan melakukan istirahat yang sesungguhnya. Lepaskan sejenak dari pemikiran tentang plot, jalan cerita, eksekusi ide, dan lain sebagainya. Lupakan pula sejenak bagaimana nasib si naskah selanjutnya. Pemikiran tentang apakah naskah ini layak terbit, mau diterbitkan di mana, bakal diterima dengan baik atau tidak, disimpan dahulu. Istirahatkan diri sebentar, saja. Ketika sudah cukup masa istirahatnya, semoga kita bisa hadir dengan semangat dan optimisme yang baru.

Jadi, sudah kepikiran mau mengisi waktu istirahat kalian dengan melakukan kegiatan apa?


____
Source pict, edited by me



0 komentar:

Tips Menulis

Mengapa Naskahnya Perlu Distirahatkan Setelah Selesai Dibuat?




Sebenarnya, saya masih belum pantas memberikan tips menulis. Rasanya, ilmu yang saya miliki pada bidang ini tidaklah seberapa. Tetapi, karena niatnya adalah untuk berbagi cerita dan berbagi sedikit ilmu dan pengalaman, maka saya memberanikan diri untuk menulis beberapa tips yang saya pernah alami dan rasakan.

Sebagaimana banyak sekali tips menulis yang beredar di luar sana, tentang "mendiamkan" naskah yang sudah jadi, saya akan berbagi kisah ini kepada kalian para pembaca. Saya adalah tipikal orang yang mengelarkan sebuah novel dulu baru mengeditnya belakangan. Terkadang, ada juga masanya berhenti menulis dan mengedit beberapa bagian. Tapi, itu bukan teknik menulis yang disarankan. Mengedit saat menulis biasanya menjadi salah satu penghambat tidak selesai-selesainya sebuah novel. Karena, kita jadi kebanyakan berhenti. Sementara, imajinasi kita terus berkembang dan berupaya menjadikan calon naskah kita itu sesempurna mungkin. Sebagaimana kesempurnaan itu adalah hal semu kalau terus dikejar, alhasil jalan si naskah untuk bertemu dengan kata "tamat" masih sangat jauh. Jadi, saya lebih memilih merampungkan cerita hingga selesai, baru memikirkan proses editing belakangan. Dengan begini, setelah sebuah cerita tersusun secara utuh, setidaknya kita sudah punya hasil pekerjaan kita tersebut.

Lalu, jika naskahnya sudah jadi, apakah perkerjaan kita sudah selesai? Eits, jangan berbangga hati dulu. Perjalanan naskah itu masih sangat panjaaang sekali. Ketika naskah sudah utuh, barulah proses self-editing berlangsung. Namun, saya tidak menyarankan untuk langsung mendedah dan mengedit naskah itu. Jangan dulu. Biarkan dulu kamu istirahat, karena mengerjakan sebuah novel tentu membutuhkan waktu yang tidaklah singkat. Belum lagi, energi yang terkuras saat menggarapnya juga banyak sekali. Jadi, selagi kamu menikmati jeda, naskahmu juga perlu yang namanya "istirahat". Beri waktu pada naskahmu dan diri sendiri untuk beristirahat. Jauhkan pikiranmu dari plot, detail cerita, karakter, dan segala macam hal tentang naskahmu itu.

Sebenarnya, fase istirahat itu bertujuan untuk apa, sih? Banyak hal yang bisa didapat dari melakukan proses break tersebut. Pertama, kamu akan memiliki jarak dengan naskahmu. Saat kamu mengeditnya nanti, kamu tidak lagi memosisikan diri sebagai penulis, melainkan pembaca. Penulis adalah orangtua dari naskahnya. Apa yang biasanya dilakukan orangtua pada anaknya? Tentu membanggakan kemampuan sang anak. Pun begitu juga dengan hubungan penulis dan naskah. Dalam sudut pandang penulis, ia yang merasa mengenal naskahnya luar-dalam, pasti memiliki alasan mengapa naskahnya layak baca. Dengan mudah ia bisa memberikan daftar keunggulan-keunggulan naskah itu. Nah, inilah yang perlu dikurangi. Semakin dekat hubungan emosional penulis dan tulisannya, dikhawatirkan akan menjadi semakin subjektif dalam melihat isi naskah secara keseluruhan. Untuk menghindari kesubjektifan itulah kamu harus menjaga jarak. Saat menjaga jarak itu, kamu perlahan-lahan bisa mengurangi kadar kecintaanmu pada si naskah, juga melupakannya untuk sementara waktu. Supaya apa? Supaya kamu bisa memosisikan diri sebagai seorang pembaca.

Saat kamu membaca cerita orang lain, kamu tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadapnya. Kamu belum mengenal tokoh-tokohnya, belum mengetahui secara detail isi cerita, apalagi akhirnya. Jadinya, kamu akan peka dengan kekurangan-kekurangan naskah itu. Entah dari sisi kelogisan, atau adakah jalan cerita yang belum tereksekusi dengan sempurna, atau adakah plot hole di sana? Kamu bisa lebih mudah menyadarinya. Nah, saat kamu memosisikan diri sebagai pembaca pada naskahmu, kamu akan menemukan hal-hal yang bisa kamu perbaiki saat proses editing nantinya. Apakah kalimat yang kutulis sudah efektif? Adakah yang perlu dibuang atau ditambahi? Dan juga, masih adakah kesalahan penulisan yang terjadi? Itu semua bisa dengan mudah kamu rasakan ketika kamu sudah berjarak pada naskahmu.

Kedua, saat kamu istirahat dari penyelesaian naskahmu, kamu bisa melakukan banyak hal yang tidak sempat kamu lakukan saat kamu konsen pada proyekmu. Kamu dapat memanfaatkan waktu itu untuk mengistirahatkan diri dan melakukan banyak hal di sana. Siapa tahu, kamu justru mendapat ide untuk naskah selanjutnya, kan?

Nah, sebaiknya, berapa lama waktu istirahat itu berlangsung? Ada yang mengatakan bahwa sebaiknya jedanya cukup lama. Semakin kamu melupakan naskahmu, semakin objektif nantinya saat kamu mulai pengerjaan self-editing. Namun, jangan terlalu lama juga. Khawatirnya, semangat saat menulis dan merampungkan cerita bisa mengendur atau bahkan hilang. Bagi saya, idealnya mengistirahatkan naskah itu adalah satu sampai dua minggu. Kalau keburu-buru, tiga sampai empat hari juga cukup.

Jadi, sudah seberapa jauh perkembangan naskahmu? Jika sudah mendekati rampung, apakah kamu sudah siap untuk mengubah mindset dari "sebagai penulis" menjadi "sebagai pembaca" saat naskahmu selesai nanti?


_____
Source pict, edited by me

0 komentar:

catatan sehari-hari

Sebuah Mimpi tentang Rumah

(sumber)



Di sela-sela mimpi yang selalu buruk, semalam saya bermimpi tentang rumah. Ya, akhir-akhir ini saya sering sekali bermimpi buruk. Tidak hanya mimpi buruk, insomia juga hampir selalu mampir. Jadi, mimpi tentang rumah semalam benar-benar menenangkan. Sampai sekarang, bahkan saya masih bisa mengingat bagaimana visualisasi rumah itu. 

Rumah saya minimalis, dengan nuansa hijau yang menyejukkan dan dikelilingi taman yang rindang. Sisi depan dan belakangnya berdinding kaca. Kamar saya di bagian belakang, lantai tiga, berdekatan dengan dapur yang ada di lantai bawahnya. Salah satu sisinya menghadap ke taman belakang, dengan dinding kaca. Ada sumur modern di dekat kamar dan dapur itu, dengan nuansa kayu yang mengelilinginya. Kamar tidur saya benar-benar nyaman. Di ruang tamu, dindingnya bernuansa hijau muda dengan dinding kaca yang memenuhi hingga lantai-lantai atasnya. Gordennya berwarna krem panjang sekali. Di lantai tiga, ada teras yang terhubung dengan halaman depan.

Entah apa motivasinya saya menuliskan ini. Mungkin untuk mengingat mimpi-mimpi baik yang jarang sekali muncul akhir-akhir ini. Mungkin sebagai penenang. Mungkin hanya akan menjadi sebuah tulisan yang tidak berarti. Mungkin, saya hanya butuh sebuah kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Mungkin.

0 komentar: