catatan sehari-hari

Apa yang Bisa Dibanggakan Anakku Kelak?




Beberapa hari ini, ketika saya meluaskan sosial media dan bertemu dengan teman-teman lama di dunia maya, rasanya senang saat mendengar berita beberapa teman sedang berbadan dua. Teman-teman saya itu, yang dulunya senasib dan sepenanggungan, masih sama-sama belia, kini sedang menunggu bertambahnya tanggung jawab baru dalam hidup mereka. Rasanya, waktu berjalan begitu cepat, sekeliling saya sudah berubah begitu pesat. Sementara saya? Sepertinya saya begini-begini saja. Tidak ada sesuatu yang spesial dengan hidup saya.

Sementara itu, teman-teman saya berbagi kebahagiaan melalui status-status mereka. Tentang cerita-cerita seputar kehamilan yang tidak hanya mereka bagi pada pengguna sosial media lainnya, tapi mereka juga sedang berbincang pada calon anak mereka, yang pada akhirnya, suatu saat nanti, cerita itu akan sampai pula ke telinga-telinga mungil yang kini tengah berkembang di alamnya sana, yang tengah menanti-nanti kapan giliran tampil ke bumi tiba.

Rasanya, jahat kalau saya iri dengan kebahagiaan yang sedang mereka bagi. Sepertinya, saya merasa kehilangan empati jika saya menunjukkan rasa iri itu. Lagi pula, penyakit hati semacam iri hanya akan merusak diri sendiri. Namun, saya akan jujur mengatakan, bahwa tebersit rasa iri dari dalam hati saya. Pertanyaan-pertanyaan seputar, kapan saya bisa mengalami masa membahagiakan itu? Kapan kiranya Tuhan memberikan tanggung jawab serupa pada saya?

Saya tahu, bahwa perasaan itu jika didiamkan terlalu lama sungguh tak dibenarkan. Namun. pada akhirnya saya termenung. Terlepas dari kapan saya bisa menjadi sosok ibu, yang ada pertanyaan-pertanyaan lain bermunculan. Seperti misalnya, apakah suatu saat anak saya akan bangga memiliki ibu seperti saya? Apa kiranya yang dibanggakan anak saya kelak tentang saya? Sementara teman-teman saya menapaki prestasinya yang gemilang dalam hal karier maupun akademik, saya terhenti pada satu titik, titik terberat dalam hidup saya. Tanpa nama, tanpa dikenal oleh siapa-siapa, dan nyaris tanpa karya. Apalagi, saya mempunyai cita-cita untuk tidak berkarier di luar sana saat saya menikah kelak. Lalu, di tengah kehidupanmu kelak, anakku, apa kiranya yang bisa kaubanggakan dari ibumu ini?

Di sekeliling saya, barangkali saya adalah anomali, karena tidak ingin memiliki karier di luar rumah. Tidak ingin memiliki jam kerja ten to five, karena berharap dapat mendidik dan menikmati perkembangan anak-anak saya nantinya. Saya mempunyai alasan personal untuk memutuskan itu. Meskipun, rasanya konsekuensi berat (terutama tentang berkurangnya penghasilan, nantinya) membayangi keputusan itu. Ini bahkan masih keputusan sepihak. Saya hanya bisa berharap menemukan mulut botol yang pas dengan tutup botol yang saya pegang. Hingga pada akhirnya, keselarasan bakal terjadi dan mimpi serta asa tentang itu, bisa terjalin.

Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali: 

Wahai anakku di masa depan, jika ini cita-cita ibu kelak untuk membesarkanmu, dapatkah kau membanggakan Ibu dalam hati kalian? Mungkin, teman-teman sebaya kalian memiliki ibu yang berprofesi meyakinkan, atau bekerja di instansi ini dan itu. Mungkin, ibu-ibu mereka akan menceritakan bagaimana perjuangan mereka saat mengandungmu. Mungkin, Ibu tidak akan memiliki cerita itu. Dan jika itu yang terjadi, apakah Ibu akan tetap spesial di hati kalian?



Sebuah catatan tengah malam, yang dituliskan pagi hari setelahnya.


0 komentar:

Cerpen

Senandung Lirih



Lelaki itu memilih gitar, di antara berbagai macam opsi yang mungkin bisa direngkuhnya untuk menginterpretasikan dua penggal kata yang tengah mewakilinya saat ini: patah hati. 


Minggu depan aku menikah.

Ia bisa saja menjatuhkan pilihan pada bir yang terkesan lebih gentle bagi sebagian orang. Namun lelaki itu lebih bisa memaknai kata gentle lebih baik ketimbang sebagian orang yang tadi. Baginya, menghilangkan kesadaran sementara dengan minuman keras hanya untuk orang-orang lemah, yang tak sanggup menaklukkan badai tornado yang berkecamuk dalam diri. Bukannya tidak mengharapkan untuk dapat menghapus jejak ingatan, justru sang lelaki tengah berjuang menghapuskan memori yang melekat kuat dalam dinding-dinding, pada jalanan yang sunyi maupun di tengah kemacetan, di ujung gang atau jalan tol yang tak bercabang. Setiap sudut kota memiliki kenangan tentang gadisnya, yang ingin disapunya dalam sekali usapan. Bahkan setiap helai udara, nama perempuan itu akan selalu didengarnya. Lirih, bernyanyi dan bersenandung, dalam puncak kemarau atau di tengah hujan. Menarikan tarian kenangan yang berpusar pada diri sang dara, sementara si laki-laki terombang-ambing hingga mabuk dan nyaris mati... ya, dia sudah mabuk tanpa pernah menyentuh bir. Jadi, jika hakikatnya dia telah menyerahkan sedikit kewarasannya untuk mengaku kalah dengan keadaan, untuk apa lagi zat adiktif itu direguknya?


Maaf cuma bisa kasih tahu lewat bbm.


Pemuda itu juga bisa memilih aspirin untuk meredakan nyeri di kepalanya, atau analgesik yang menghilangkan sakit tanpa harus membayar momen kehilangan kesadaran. Tapi melupakan kenangan tidak semudah minum obat tiga kali satu dalam sehari. Tidak segampang tertidur untuk berharap saat bangun luka yang menganga akan kering. Tidak semudah itu. Si pesakitan sekarang tengah menikmati penjaranya sendiri, merasakan kehampaan saat lubang yang tercipta di dalam hidupnya muncul karena sebuah kepergian.

Tapi si lelaki juga memilih pergi, segera setelah fakta menyayat hati itu sampai padanya. 

Pesan yang masuk ke dalam ponselnya belum ia balas.

Lalu dipetiklah gitar itu, bukan dengan nada sumbang, apalagi dengan untaian alunan dramatis yang mewakili sayap kanan sang Eros yang patah hingga ia tidak dapat terbang, memabukkan cinta pada sepasang insan, meskipun apa yang tengah berkecamuk di dalam dadanya lebih dramatis ketimbang itu. Petikan gitarnya cepat, tegas, lugas, namun mengiris hati lebih tajam ketimbang lagu-lagu yang dipilih perempuan untuk menemani rasa sakitnya. Dia seorang adam, bukan hawa. Dia memiliki caranya tersendiri untuk menyenandungkan luka.


Bodoh... kamu tentu saja sudah tahu kabar ini. Tapi... maaf, baru mengucapkan itu secara langsung... sekarang. Kalau kamu minta penjelasan, aku akan berikan... aku baru siap untuk memberikan....


Lelaki itu memainkan gitarnya dengan frustasi, mencoba meredam segala jenis pertanyaan tentang gadisnya, yang memutuskan hubungan dengan dirinya dan selang beberapa bulan kemudian mengikrarkan diri mengikat janji dengan pria lain. Pria lain...

Kenapa kau pergi?

Gadis yang terpaut lima tahun lebih tua darinya itu pernah mengatakan bahwa, usia yang terbentang hanyalah bilangan angka. Untuk apa merisaukan perbedaan umur jika hati sudah melebur? Ya. Untuk apa. Sebuah pertanyaan yang memiliki jawaban sama dengan banyak pertanyaan lain yang menyerbunya di dalam kepala.


Petikan gitar makin kencang meskipun nadanya tetap harmonis. Suara baritonnya tegas, nyaris sumbang untuk meredam suara-suara yang mulai menjajah pikirannya. Sesekali lirikan matanya beralih ke tab percakapan yang dibiarkannya terbuka.

Arga... pulanglah. Papamu mengkhawatirkan dirimu. Maafkan aku. Maafkan kami.

Dia adalah peselancar yang mendadak lemah. Pilihan apa yang bisa dilakukan olehnya selain menaklukkan ombak dengan gagah ataukah dia akan terseret ombak dan terbawa ke lepas pantai? Akhirnya toh dia menyerah kalah. Ke manapun ia melangkah, kenangan akan gadisnya akan tetap ada, bagaikan jejak-jejak kaki yang ditinggalkan di atas bumi. Kini, dia akan tetap mengenang si pemilik senandung, ratu yang pernah bertakhta dalam kerajaan di mana dialah sang abdi, bahkan budak yang dengan setia melayani. Sang ratu akan bersanding dengan raja. Dan raja itu bukanlah dirinya.

Yang dibutuhkan seorang lelaki patah hati hanyalah waktu. Dan baginya sebuah senandung yang digetarkan dengan lirih.

Nanti aku pulang.

Tangannya bergetar untuk mengetikkan sebuah pesan.

Mama.

Semoga kau temukan apa yang kaucari. Yang tak kaudapatkan dari aku.

Aku harus membiasakan panggilan itu mulai sekarang, bukan?

Karena gadis itu akan menjadi ratu dalam singgasana kerajaan ayahnya.

0 komentar:

Cerpen

Obrolan Pagi




Tiba-tiba saja kau bertanya padaku, "Sejak kapan kau mencintaiku?"

Aku hanya membutuhkan tiga menit untuk memberitahumu, barangkali tiga puluh menit jika kau menginginkan penjelasan, sekaligus memberi ruang padaku untuk bernostalgia. Tapi kita sama-sama tidak menyadari, ada selang tiga tahun bagi kita untuk sama-sama menyadari, bahwa kita ditakdirkan saling melengkapi, bahwa ternyata, selain ada kata "aku" dan "kau", kita membutuhkan "kita" untuk mengikatnya bersama.

Aku memutar mata, memamerkan senyum misterius untuk memancing rasa penasaranmu. Sejak kapan aku mencintaimu? Benarkah kau ingin tahu?

"Pertama...," aku memberi jeda dengan mencari-cari kedua bola matamu dan menatapnya tajam. Oh, pengakuan ini sejujurnya tidak akan pernah bisa kulafalkan sebelumnya. Tapi, bukankah kau juga harus tahu, sejak kapan aku mulai mengubah frasa "teman" menjadi naik level ke sesuatu yang membutuhkan pengorbanan lebih dari sekadar menjadikanmu sebagai teman? "Saat aku pernah mengeluh padamu ketika aku sedang sakit. Kau tahu apa komentarmu waktu itu? Sudah saatnya kamu butuh suami."

"Oh," reaksimu, namun dengan jelas aku melihatmu mengalihkan pandangan padaku seperti sedang berpikir. "Setahun yang lalu?" tanyamu mengonfirmasi.

"Sepertinya begitu. Dan kurasa, kamu cuma bercanda waktu itu, kan?" Aku membalikkan tanya sambil tertawa. "Aku tahu kamu bagaimana."

Kamu ikut tertawa bersamaku.

"Kedua?"

"Kedua, saat kau menghilang tanpa jejak dan sama sekali tidak meninggalkan pesan. Dan aku adalah orang pertama yang kau hubungi kembali. Mungkin bagimu itu hanya sesuatu, tapi bagiku adalah segalanya." Ya Tuhan, jantungku mendentum saat pengakuan barusan itu kusampaikan.

"Kau memarahiku saat itu--"

"--karena kau tidak tahu betapa khawatirnya aku."

Kau menghela napas panjang, sambil mencuri pandang dengan tersenyum yang langsung kutangkap pandangan itu lalu menguncinya.

"Maaf."

"Kau sudah mengucapkannya waktu itu. Dan kurasa, memang tidak ada yang harus dimaafkan."

"Dan yang ketiga?"

"Sekarang..., dan untuk selamanya."

Kau terdiam, dan kembali memasang senyum yang lebih tulus dari sebelumnya, atau bahkan lebih tulus ketimbang senyum manapun yang pernah kau pamerkan kepadaku. 

Aku ikut tersenyum bersamamu. Meskipun, aku tahu 'selamanya' bukanlah kata yang dengan jujur mampu aku pertanggungjawabkan setelah ini. Aku tahu, akan ada masanya ketika aku merasa lelah untuk mencintaimu, bahkan ketika aku berusaha dengan sekuat tenagaku. Akan ada saat ketika musim semi yang paling indah berganti dengan musim dingin yang paling mencekam. Bunga-bunga yang pernah bersemi itu tertutup salju dan tertimbun badai dalam suhu terendah sepanjang yang aku bisa tahan. Tapi, aku akan setia menunggu musim menghangat, masa di mana kata cinta akan menjadi atmosfer kembali hingga aku mampu menghirupnya bersamamu. Tapi kata 'sekarang' yang baru saja kuucapkan, adalah sebuah kejujuran yang mampu kuungkapkan, sejujur matahari yang tengah menyinari pagi kita, menyusup malu-malu melalui celah jendela.

_____
Source pict, edited by me

0 komentar:

Behind the scene,

Ucapan Terima Kasih

Malam ini, saya menghentikan jemari saat sedang menulis sesuatu. Bukan sebuah cerita seperti biasanya, atau ulasan tentang buku yang saya baca. Saya, menuliskan sesuatu yang paling berat dan ditunggu saat sedang menemani proses melahirkan sebuah buku: ucapan terima kasih.



Alih-alih meneruskan paragraf ketiga, saya justru membuka laman ini, dan menuliskan sebuah kisah untuk saya simpan sendiri (dan untuk kalian, yang telah tersasar di blog saya ini). Bagi saya, menulis ucapan terima kasih, teramat berat. Apalagi untuk buku pertama. Sisi melankolis saya yang jarang saya tampakkan pada orang-orang, menyeruak begitu saja. Ya, saya lagi menangis saat menulis ini. Ahahaha. Lebay sangat, ya?

Menahan jemari untuk tidak menuliskan banyak hal personal di sana, akhirnya saya sekarang sedang mengalihkannya untuk menulis di sini. Bagaimana tidak, sebuah perjalanan yang panjaaaang, akhirnya mengantarkan saya sampai ke gerbang ini: gerbang menjadi seorang penulis. Bangga? Saya jelas patut mengapresiasi diri atas segala perjuangannya, tidak hanya saat menuliskan cerita Carisa dan Kiana, melainkan banyak cerita dalam hidup saya yang terjadi selama proses menulisnya. Barangkali, perasaan sentimentil itu yang membuat saya mendadak melow. Barangkali, tentang banyak cita-cita saya yang harus saya kuburkan di lini masa yang sama ketika saya mulai menulis sebuah cerita. Bukan, bukan karena saya menjadi seorang penulis akhirnya membuat saya melupakan jalan hidup yang lain. Melainkan, ketika nyaris semua pintu masa depan menutup di hadapan saya itulah, pintu yang ditawarkan kepada saya ini terbuka lebar. Memeluk segala mimpi-mimpi saya. Membelai renjana yang sudah tersusun bahkan sejak kecil yang tak pernah saya sadari.

Bagi saya, menulis adalah obat untuk keluar dari kemelut hidup. Dan ternyata, impian menjadi penulis itu datang, meskipun saya tahu, jalan itu tidak berhenti sampai di sini. Bahkan, perjuangan untuk masuk terus dan terus ke dalamnya, benar-benar terjal dan berbatu. 

Akhirnya, setelah menenangkan diri begitu lama di sini, saya melanjutkan menulis draf ucapan terima kasih itu. Dan, selesai. Meskipun, saya kurang puas. Banyak nama yang belum tertuliskan di sana. Karena, kalau saya menuliskan semua nama, rasanya itu bakal jadi buku ucapan, bukan sebuah novel remaja, hehehe. Namun, saya berjanji kepada kalian yang namanya tak tercantum di sana, untuk saya sematkan di buku-buku selanjutnya.

Selamat malam, selamat menemani saya menanti kelahiran anak pertama! 

0 komentar: