Cerpen

Tarian Kemarau

18.13 Unknown 0 Comments





Matahari mencapai puncaknya saat gadis dengan kaki gemetar melangkah ke tengah ladang kering kerontang. Dadanya bergemuruh bagaikan embusan badai di musim salju. Laksana deru es memeluk angin kencang yang menghantam setiap gubuk kecil yang hanya memiliki kayu bakar terakhir dengan api menyala sendu. Tapi itu semua hanya berlangsung dalam benak sang dara. Tidak pernah ada badai salju di tanah mereka. Meskipun ada, dan andaikan badai salju tersebut akan memorak-porandakan gubuk mereka, itu jauh lebih baik ketimbang puncak kemarau yang tengah melanda sekarang.

Setidaknya, jika musim dingin itu terjadi, aku tidak perlu mengalami ketakutan seperti sekarang, batinnya.

Tangannya menggenggam sebatang bambu dengan ujung runcing yang bahkan tidak pernah ditatapnya. Dari jarak tidak terlalu jauh darinya, pemuda berusia dua tahun lebih muda darinya menghunuskan pedang, tatapannya mengandung nafsu untuk mengalahkannya dalam sekali tebasan. Gadis itu, Matilda namanya, hanya berani menatap getir, tidak mampu menyembunyikan ketakutan yang bersemayam pada kedua bola matanya, membiarkan sang pemuda meraup sisa-sisa harapan yang dia miliki… kalau masih ada.

***

“Aku sudah memutuskan…,” tatapannya melayang ke atas kasur, saudara lelakinya terbaring tak berdaya di sana, “aku yang akan menggantikan Victor pada Turnamen Tarian Kemarau nanti,” lanjutnya dengan pelan namun tegas.

Seketika gubuk yang hanya memiliki satu obor sebagai penerangan itu hening. Sebuah keheningan yang menyayat hati, bagaikan permainan suling dalam upacara kematian di Halfland yang dilangsungkan secara turun-temurun hingga sekarang. Dan keheningan itu dipecahkan oleh isak tangis teredam salah seorang adik perempuannya.

“Ba… bagaimana mungkin aku membiarkanmu turun dalam turnamen itu, Matilda?! Setelah apa yang dialami Victor dua tahun yang lalu pada turnamen yang sama?!” pekik Hilde, adiknya.

***
  
Gemuruh penonton di pinggir ladang membuyarkan ingatannya yang tadi sempat berkelana menyusuri masa beberapa hari sebelum dirinya berada di pusat keramaian ini. Pandangan Matilda bergerak menyusuri penonton, barangkali adik-adiknya ada di antara kerumunan mereka, menontonnya. Meskipun beberapa kali ia mengharapkan tidak ada satupun kerabatnya yang akan menangisi darahnya yang tertumpah di atas retakan tanah ladang panas dan kering.

*** 

“Victor tidak pernah muncul sejak kekalahannya dua tahun lalu, aku tidak dikenal oleh mereka. Dan aku yakin, mereka tidak akan pernah memedulikan apakah Victor atau siapa pun yang akan mewakili rumah ini dalam turnamen.” Dadanya seolah berapi, bagaikan ranting dan daun kering di puncak musim panas yang terkadang membakar dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah membiarkan mereka membawa Victor yang lemah.” Suara Matilda tersekat. 

Dia bisa membaca pikiran Hilde, bahkan Magdalena adik bungsunya yang bisu dan hanya menatap dirinya dengan berkaca-kaca. Satu-satunya pilihan yang paling memungkinkan adalah membiarkan Victor masuk ke dalam pertandingan, dengan begitu bisa memuluskan jalan kakak sulung mereka menuju kehidupan selanjutnya hingga tidak lagi merasakan kesakitan. Itu adalah satu-satunya pilihan, hingga Matilda mencetuskan niatnya untuk menggantikan posisi Victor, mengenakan jubah dan baju zirahnya, memasang ikat kepala hitam sebagai pertanda bahwa dia pernah menjalani pelatihan militer bersama banyak pemuda di tanah Halfland beberapa waktu silam.

***

Tarian Kemarau, pesta akbar pemanggil hujan di mana awal mulanya para cenayang dan pertapa percaya, bahwa bumi di puncak kemarau pada siklus dua tahunan meminta persembahan. Semua pemilik rumah harus mempersembahkan pemuda mereka sebagai peserta. Darah yang membasuh retakan-retakan tanah pada ladang gandum akan kembali menyuburkan, mengundang hujan turun mengguyur tanah mereka. Raja dan panglima perang turut menabuh genderang, dengan menjadikannya sebagai pesta rakyat dan ladang untuk mencari kesempatan merekrut para perwira baru—mengabaikan yang mati atau terluka parah, ya, tentu saja, Victor adalah contohnya.

“Ini akan sangat mudah untuk diselesaikan,” geram pemuda bernama Vlad.

Satu tebasan pedang menggores lengan Naya, darah menetes pada ujung pedang perak itu. Seringai muncul pada bibir Vlad, barangkali tengah membayangkan dua puluh keping emas yang akan ia dapatkan jika melewati babak pertama, lalu dua ratus jika dia sanggup melesat di babak kedua, dan dua ribu emas jika berhasil memenangkan pertandingan ini sampai selesai.

***

"Aku yang wajahnya paling mirip dengan Victor, aku yang bertanggung jawab menjaga kalian setelah Victor tidak mampu melakukannya. Dan aku, adalah seorang pekerja di dapur istana. Melakukan itu bahkan mungkin akan semudah menebas daging kalkun atau mencincang biri-biri sebagai makan siang para pekerja di istana." Suara Matilda melemah dan bergetar.

Hilde hendak meneriakkan tangisnya, namun ditahan karena tidak ingin membangunkan kakaknya yang tengah tidur terkulai lemah. Hanya Magdalena yang bangkit. Air matanya sudah diusap dengan punggung tangannya, tangan mungil itu mengambil sebilah belati, membuat kedua kakaknya terkejut dengan apa yang dilakukan si bungsu bisu mereka.

***

Satu tebasan lagi menerabas ke arah kiri, namun tindakan impulsif sang gadis, secekatan saat ia menghampiri tungku ketika air rebusan kepala kambing yang ada di dalamnya mendidih dan hendak meluap dan menyimburkan air untuk memadamkan apinya di bawah panci, secepat itulah ia mengelak dari serangan yang baru ini. Dadanya masih berdebar. Gadis itu terkejut, lawannya gemas dengan upaya pembelaan dirinya.

“Orang yang bangkit dari sekarat bisa juga membela diri? Apa kabar Victor? Lelah dengan tidur panjangmu?” ejek Vlad kepadanya.

Gemuruh kembali melanda dada Matilda. Ia tahu yang dirinya lakukan hanyalah perlu diam, sediam yang Magdalena lakukan, untuk memerankan skenario ini.

Untuk memenangkan babak dalam pertempuran, petarung hanya perlu menjatuhkan dan memerahkan tanah dengan darah lawan. Hanya itu. Tapi, jarang menemukan para petarung baik hati yang mau membiarkan lawannya terjatuh saja. Dan Matilda telanjur berjanji pada Magdalena untuk melakukan satu hal.

Dua kali lengan kanannya tertebas, yang ini cukup dalam. Ini hanya seperti tergores pisau daging! batinnya meyakinkan diri. Tapi Matilda masih berdiri dengan kedua kakinya. Tombak yang menjadi senjata membantunya untuk bertahan.

SRET!

Vlad memotong bambunya hingga terbelah menjadi dua, Matilda berdiri limbung tanpa tumpuan bersandar. Bambunya menyisakan setengah. Matanya menyalang, menatap tegas wajah lelaki itu. Dengan kekuatan entah datang dari mana, gadis itu akhirnya bersuara.

“Aku tidak akan membiarkan nyawaku dihargai hanya dengan dua puluh keping emas!”

Vlad terkejut mendengar suara perempuan, dan saat ia lengah itulah si gadis kidal memindahkan bambunya. Dengan ujung yang terbelah ia menggoreskan luka di tempat yang sama dengan yang didapatnya. Bunyi pedang berkelontang jatuh, satu kaki sang gadis menendang dada sang lawan dan membiarkan pemuda itu terjerembab di tanah. Darah lawannya telah membasahi bumi, masuk ke dalam rongga tanah yang retak.

“Kau! Bisa-bisanya!”

Gemuruh suara dan tabuhan gendang semakin memekakkan telinga saat mereka telah mendapatkan pemenangnya.

Setidaknya, Matilda telah menepati janji pada adiknya, dan ia tahu bahwa Magdalena akan melaksanakan janji yang ia minta, di malam saat gadis itu memotong rambut panjang miliknya.


***

Mata Magdalena berkaca-kaca, namun tangannya sigap, mencengkeram pirang platina berombak milik kakaknya. Terdengar bunyi gesekan rambutnya dengan belati… dan kini jatuh ke atas lantai kamar tempat mereka berkumpul di malam itu. Hilde berlari keluar kamar dan berlari ke peraduannya sendiri. Dari bawah, raungannya masih terdengar samar. 

“Jadi, kau merestuiku, Magdalena?”

Gadis itu mengangguk, namun belatinya dengan cekatan memotong rambut panjang Matilda. Dia tahu, jika ingin menggantikan peran Victor, Matilda harus melakukannya dengan sempurna.

“Jika aku menjadi korban nanti, kaulah yang akan menggantikan peranku di rumah ini.” Matilda menahan suaranya supaya tetap tenang. “Hilde, biarkan dia memupuk dan meraih mimpinya untuk menjadi seorang istri pekerja istana. Biarkan dia menempuh jalannya. Tapi kau, kau harus percaya, Victor akan pulih. Aku percaya itu. Kau hanya perlu bersabar dan terus merawatnya….”

Suaranya terhenti karena adiknya menatap wajahnya lekat, Matilda melihat kesungguhan yang tidak pernah dilihat sebelumnya pada gadis tiga belas tahun itu.

“Aku berjanji, nyawaku tidak akan kubiarkan hanya seharga dua keping emas saja.”



_____
Pernah di-posting di sini, diubah sesuai kebutuhan. Sumber gambar.

0 komentar: