Cerpen

Kopi Anti Mimpi




“Jadi, siapa yang kaubunuh kemarin malam?” ucap lelaki itu, sambil meletakkan secangkir kopi hitam ke hadapanku.

“Orang kedua,” jawabku sembari memamerkan gigi putihku yang berderet rapi. “Hmmm,” aku menghidu aroma kopi yang memanjakan indera penciumanku. “Kopi Aceh?” tebakku asal.

“Toraja,” ralatnya. "Coba rasakan lagi aromanya. Ini tidak sepekat kopi Aceh. Kopi Toraja wanginya lebih membumi. Seperti tanah yang baru saja tersiram hujan."

"Aaah. Oke," jawabku, dengan decak kagum yang tampak dari rona wajahku. Padahal, bukan kali pertama ini aku terpesona dengan caranya mendeskripsikan kopi. 

Lelaki itu duduk di kursi kosong di hadapanku, membiarkanku sejenak terhipnotis dengan minuman yang tengah kureguk, tanpa ada interupsi. Benar juga, setelah diminum baru terasa perbedaan antara keduanya. Kopi Toraja terasa lebih asam, sementara kopi Aceh memiliki rasa yang lebih pahit.

"Ya, asamnya terasa menyenangkan. Andai saja getirnya kehidupan bisa dinikmati seperti ini," kataku. "Astaga, sejak kapan aku jadi mirip seperti kamu begini." 

Dia tertawa.

"Kamu harus merasakan kopi Kintamani. Supaya kautahu bahwa kopi tidak selamanya pahit dan getir. Ada perpaduan jeruk dan kopi arabika yang membuat hidup tidak hanya tentang hitam pekat dan pahit getir semata."

"Ya Ben. Kapan-kapan," elakku. Ben tahu benar kalau aku tidak akan mau meminum kopi jenis itu meskipun aku tidak akan pernah menceritakan alasannya padanya.

Pikiranku jadi mengelana saat di mana pertama kali aku bertemu dengan Ben. Sebelum kejadian malam itu, aku bukanlah pencinta atau penikmat kopi. Tapi perjalanan takdir tidak ada yang bisa menebaknya. Bahkan tersasar di sebuah kedai kopi 24 jam ini pun berkat pintalan takdir yang aku tidak tahu bagaimana kerjanya dan apa maksudnya.

“Siapa tahu di mimpimu setelah ini, kau berhasil membunuh musuhmu dengan kopi,” ujarnya ringan.

Otomatis tawaku muncul lagi, disusul tawa darinya.

“Jadi, dengan apa kaubunuh orang kedua itu?”

“Kau tidak percaya, dengan panah beracun!” jawabku dengan bangga. "Aku merasa keren sekali karena bisa memanah. Tepat sasaran. Di jantungnya. Shoot!"

Aku kembali menyesapkan kopi dengan perlahan, mencoba menikmatinya. Benar-benar menikmati, tidak seperti apa yang kulakukan dua minggu yang lalu, di tempat yang sama, lebih larut malam dari sekarang.

***

Aku datang kemari seperti seseorang yang tengah patah hati, setelah dengan impulsif mengendarai mobilku tengah malam. Seperti orang gila, aku memang tidak bisa membedakan selaput tipis antara waras dan gila, dunia nyata dan mimpi. Satu-satunya yang ada dalam benakku adalah aku harus melarikan diri dari kekejaman mimpi dan trauma yang pernah melingkupi hidupku bertahun-tahun lalu. Tujuanku sebenarnya adalah klub malam yang tidak jauh dari sini. Namun aku menemukan tempat ini, menarikku bagaikan magnet beda kutub yang didekatkan.

Bean and Ben’s Coffee.

“Kopi anti mimpi!” pekikku.

Aku melihat seseorang terkejut dengan kehadiranku. Ada yang salah? Apa aku sudah mirip orang gila? Seorang wanita yang pergi ke tempat ini dengan baju tidur bermotif Hello Kitty dan rambut kusut, barangkali tak perlu kusebutkan juga mata sembap akibat menumpahkan air mata selama satu jam seperti orang kesetanan. Beruntung aku tidak memilih klub malam sebagai persinggahan, karena bisa dipastikan aku akan diusir satpam.

Lelaki itu bergeming sesaat, lalu mempersilakanku duduk di tempat yang agak sepi. Tapi memang tempat ini lumayan sepi di hari kerja dan di jam yang tidak wajar, pukul dua pagi. Hanya ada beberapa orang yang tengah menikmati seduhan kopi dan makanan yang tidak pas untuk disebut hidangan makan malam. Tak lama orang itu kembali datang dengan secangkir kopi hitam pekat, langsung kusambar dan kureguk dalam hitungan menit.

“Satu lagi!”

Pelayan itu—beberapa hari kemudian aku tahu kalau ternyata dialah pemilik tempat ini—datang kembali dengan cangkir kedua.

“Satu lagi!”

Aku seperti kesetanan, kopi itu kuhabiskan dalam waktu singkat. Untungnya pelayan itu cukup cerdas untuk tidak memenuhi permintaan kopi ketigaku. Aku lelah untuk berkonfrontasi, dan yang kulakukan hanyalah menangis lagi. Aku memang seperti orang gila. Namun orang gila satu ini cukup memiliki sedikit kewarasan—barangkali ini adalah upayaku untuk menjaga kewarasan itu sendiri—dengan menceritakan ketakutan yang bersemayam dalam dadaku padanya, orang asing yang tak sengaja kutemui.

“Aku baru saja dilamar.” Aku masih ingat kalimat pembuka obrolan itu. Tapi aku takut, sesuatu dari masa lalu merayap mendatangi kehidupanku lagi, merenggut segala kesadaran yang kupunya, menghantui lebih hitam dan dekat ketimbang bayanganku sendiri. Bahkan, trauma itu menerkamku hingga ke batas mimpi.

“Aku hanya ingin kopi anti mimpi… atau apa pun yang kaupunya yang bisa membuatku terjaga sampai pagi… aku tidak ingin tidur…” Suaraku seperti orang putus asa.

“Yang kau butuhkan hanyalah teman mengobrol, dan secangkir kopi,” jawabnya. “Kau sudah mendapatkan keduanya.”

Keesokan harinya, aku kembali ke tempat yang sama dengan keadaan yang lebih beradab. Begitu pula dengan hari-hari sesudahnya, aku dengan rutin melakukan hal yang sama. Benar kata Ben, aku hanya membutuhkan teman mengobrol. Dalam hal ini, Ben-lah yang paling aman sebagai tempat untuk menampung sedikit beban yang tak perlu orang terdekatku ketahui.

Kami mengobrolkan soal kopi, dia juga bertanya beberapa hal tentangku, seperti apa pekerjaanku. Barangkali dia penasaran bagaimana aku bisa berkeliaran tengah malam berjuang untuk tidak tidur—atau lebih tepatnya, berjuang untuk melelahkan diri hingga tidak membiarkan tidurku disergap oleh mimpi.

“Asisten akuntan,” jawabku, “di perusahaan orangtua. Setidaknya aku bisa mengatur jam kantorku sendiri. Selama beban pekerjaanku selesai tepat waktu, tidak ada yang mempermasalakahkan aku datang ke kantor jam berapa.”

Dan terkadang, pembicaraan berjalan lebih serius. Misalnya, tentang mimpi yang menghantui.

“Kau harus mencoba untuk mengendalikan mimpimu sendiri,” ucapnya, di malam keempat.

Darinya aku mendapatkan penjelasan tentang mengendalikan mimpi. Aku harus menghadapi dan memiliki kendali atas mimpi-mimpi buruk yang sama yang selalu menghantuiku. Aku harus melawan dan berani untuk melakukan itu. Menghindar dari kepahitan hidup tidak akan mengubah apa pun, selain menjadi korosi pada diri.

Ben memberikan nomor telepon seseorang yang mungkin bisa membantuku untuk itu. Aku harus bernapas lega, karena mengetahui bahwa aku tidak sendiri. Ada orang lain yang mengalami gangguan psikologis semacam ini. Tapi, aku juga penasaran. Aku penasaran apakah Ben pernah mengalami hal yang sama dengan yang tengah kuhadapi sekarang. 

“Menurutmu mengapa kedai kopi 24 jam ini tercipta?” tanyanya. “Sejak bertahun-tahun yang lalu, aku merasakan hal yang sama denganmu.”

“Serius?!”

Dia tersenyum hambar dan menatapku lekat. “Bahkan terkadang, sampai saat ini.”

***

“Jadi musuh yang harus kaubunuh sisa satu orang lagi?”

“Ya,” jawabku getir, “dia yang paling menakutkanku.”

“Kalau begitu, selesaikan,” ucapnya.

“Aku pun berharap begitu,” jawabku. “Jadi, untuk malam ini, aku tidak minum kopi dulu.” Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Baru setengah sepuluh, waktu yang tidak wajar untuk mengunjungi Ben karena biasanya larut malam aku berada di tempat ini. 
Good luck.”

“Kamu juga," ucapku dengan tersenyum. "Hadiahi aku secangkir kopi Kintamani kalau malam ini aku berhasil mengalahkan ketakutanku sendiri."

Ben tersenyum senang. Ia tahu betul kalau selama ini aku tidak pernah mau diberi kopi Kintamani. Aku pun mengelak saat ia bertanya mengapa. Aku hanya mengatakan bahwa, ada hubungannya dengan trauma dan ketakutanku yang muncul akhir-akhir ini.

Aku pamit pulang.

***

Yang kuinginkan sederhana saja, bisa mengendalikan mimpi, juga mengendalikan diriku sendiri dari trauma yang menghantuiku enam tahun yang lalu. Kejadiannya saat aku sedang berlibur di Bali. Aku pernah disekap, mataku ditutup, mulutku dibekap. Di sebuah tempat bekas gudang sembako, keperawananku direnggut oleh tiga pemuda mabuk yang tidak pernah diketahui siapa. Orangtuaku menutup rapat aib ini, tak ada penuntasan secara hukum yang membuat pelaku biadab itu diadili secara pantas. Kehormatanku yang masih tersisa harus dijaga. 

Tapi lamaran Andrew kembali membuatku teringat akan aib itu. Trauma yang berhasil kulalui dan kututupi begitu rapat menguak kembali bersamaan dengan lamaran itu. Bagaimana jika Andrew menolak mempersuntingku jika tahu aku mempunyai masa lalu begitu kelam seperti ini? Bagaimana jika aku tidak mampu memenuhi kebutuhannya hanya karena aku tidak sanggup menghapus segala kenangan buruk yang menimpaku dulu? Dan segala macam 'bagaimana jika' lainnya yang merusak kehidupanku bahkan sampai menghantuiku di dalam mimpi.

Kali ini, aku kembali hadir di tempat ini, tempat di mana kejadian itu berlangsung. Dua dari tiga pelaku sudah kubunuh pada dua mimpi sebelumnya. Sisa satu lagi… aku harus mengakhiri ketakutanku sendiri malam ini.

Peluh melumuri wajahku, sementara tanganku gemetar membawa revolver dengan peluru utuh di dalamnya. Hanya butuh sekali tembakan.

Seseorang datang dari balik pintu, tanganku kueratkan semakin rapat pada senjata yang siap untuk kutembakkan. Dadaku bergemuruh kencang, bahkan dalam mimpi, kutahu aku tengah berjuang sekuat tenaga melawan ketakutan. Orang itu hanyalah perlambang rasa takut yang memenuhi rongga dada. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga.

Orang itu semakin mendekat, dalam hati aku menghitung mundur saat-saat di mana senjata ini akan kugunakan.

Tiga… dua…

“Ben?!” pekikku. Aku terkejut, saking terkejutnya, senjataku jatuh ke tanah. Bagaimana bisa aku memimpikan Ben di saat aku tengah berupaya mengendalikan mimpiku untuk membunuh orang terakhir yang memberiku luka psikis ini?

Dan sosok Ben tampil di sana, mendekat, dengan celemek seragam kafenya. Ia membawa secangkir kopi Kintamani, melengkungkan senyumnya yang biasa.



0 komentar:

Cerpen

Sungkawa Naya

"Usianya berapa, Nduk?" tanya Ibu itu. Tangan kirinya memegang kipas, entah apa faedahnya karena kamar ini sudah dingin dengan AC yang menggempur permukaan wajah dan telapak tanganku.

“Dua puluh tujuh, Bu,” jawabku sambil mengulaskan senyum.

“Sudah menikah?” tanyanya lagi.

Tanganku yang sedari tadi sibuk bekerja tiba-tiba berhenti tanpa kukomandoi. Aku kembali tersenyum, meskipun wajahku kini pias. Jika Ibu itu melontarkan pertanyaan yang sama lima bulan lalu, aku dengan bangga akan menyambar pertanyaan itu dengan sebuah jawaban yang meyakinkan, “Tiga bulan lagi, Bu,” disertai dengan sedikit sanjungan bahwa calon suamiku adalah seorang dokter, sahabatku sendiri yang kukenal selama tiga belas tahun. Mengingat perjuanganku mendapatkan kejelasan hubungan dengan Hilmy, rasanya sesekali perlu membanggakan dirinya di hadapan orang yang tak kukenal.

Tapi itu dulu.

Lima bulan yang lalu.

“Belum, Bu.” Dan ini adalah jawaban disertai senyum artifisial yang bisa kuberikan atas pertanyaan yang terlontar seputar statusku. Sekarang.

Aku kembali menekuri jemari kanan sang Ibu, sementara rupanya klienku yang satu ini terlalu bersemangat untuk berbicara sedari tadi—dalam hal ini, kalimat barusan dapat diartikan sebagai: terlalu ingin tahu segala hal yang bukan urusannya.

“Lho kok belum? Kan Mbaknya cantik,” respon sang Ibu.

“Belum jodohnya, Bu,” jawabku diplomatis, sembari mengukir jemari kelingkingnya.

“Pasti pilih-pilih ya?”

Aku tergelak. Untung sadar bahwa gelakanku yang pertama terlalu menguarkan aroma sarkasme, buru-buru kususul dengan tawa renyah untuk menetralisirnya. Pertanyaan yang sama bukan satu dua kali mampir di telinga. Semudah itu orang-orang di luar sana memberikan penghakiman.

“Hehe, enggak, Bu. Maunya sih segera ketemu sama yang cocok. Tapi begitu ketemu, eh, jalannya susah.... Bu tolong jarinya jangan gerak-gerak dulu nanti bunganya berantakan.”

“Aduh, hehehe, ya jangan sampai berantakan dong.”

Aku kembali tersenyum. Sungguh lebih baik dikomentari seputar pekerjaanku yang tidak memuaskan ketimbang diinterogasi seputar jodoh.

sumber


“Sudah berapa lama kerja sama Jeng Arafah?” si Ibu kembali membuka obrolan.

“Satu setengah tahun, Bu. Tante Arafah itu tante saya, bisa dibilang saya bantu-bantu saja.” Sambil berbicara, aku berpuas diri dengan hasil pekerjaanku di atas kelingking kanan sang Ibu.Henna berwarna merah tua mengukir dengan cantik di sana, dengan bunga pada ruas pertama dan ukiran daun-daun memanjang hingga kuku. Aku beralih ke jari manisnya.

Dalam hati aku berspekulasi, kira-kira dalam pengerjaan sepuluh jari ini, berapa kalimat interogasi lagi yang harus aku jawab? Apa mungkin bahkan sampai mengorek seluruh cerita percintaanku yang kandas dengan Hilmy? Atau barangkali Ibu yang tidak kutahu namanya itu sampai tahu bahwa rencana pernikahanku harus kandas karena terganjal restu orangtua, karena nama belakangku tak bermarga?

Aku tertawa dalam hati. Menertawai nasib malangku dan kesialan hari ini karena mendapatkan klien menyebalkan seperti ini.

“Wah, sudah sering menghias tangan pengantin dong? Kapan menghias tangan sendiri?” ucapnya. Tawa sang Ibu melengking, kipas yang di tangan kirinya menutupi mulutnya dengan gerakan yang dibuat-buat.

 “Kalau saya menikah nanti ya bukan saya yang membuat henna-nya Bu. Masa’ calon pengantin mengerjakan semuanya sendiri, hehehe.”

“Betul juga ya, hihihi. Pintar kamu.”

Aku kembali konsentrasi dengan pekerjaanku. Dan untungnya, sesekali sang Ibu memuji di sela-sela obrolan lain yang terjalin di antara kami. Pada jari keempat, ia mulai membicarakan calon menantunya.

Sebenarnya aku bisa mengerjakan pekerjaanku dengan sangat cepat dan memuaskan andai saja Ibu itu diam dan tidak mengganggu konsentrasiku dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya serta cerita seputar calon menantu idamannya itu. Aku tak henti membayangkan sosok Hilmy di balik cerita itu. Entahlah. Sejak berakhirnya hubungan kami, dan semakin banyaknya tangan pengantin perempuan yang harus kuhias untuk hari bahagia mereka, selalu saja tebersit dalam benak bahwa aku sedang menghias tangan yang akan menyentuh kepalanya, dan mengusap peluhnya, serta yang akan diciumnya sepanjang hari. Otakku memang nyaris tidak waras. Bahkan sudah lima bulan berselang, masih tidak bisa kuikhlaskan begitu saja perpisahanku dengan Hilmy yang sudah terjadi.

Padahal kemungkinan itu kecil. Tante Arafah selalu tidak melibatkanku dalam penyelenggaraan pernikahan adat yang sama dengan suku Hilmy. Kecuali, jika akhirnya keluarga besar Hilmy mau menerima orang asing di luar suku mereka, yang rasanya mustahil.

Malangnya, Ibu ini sudah memercikkan luka lamaku bahkan sejak titik pertama racikan henna-ku menyentuh jemarinya.

“Alia harus ikut suaminya ke luar negeri setelah mereka menikah nanti...” sambungnya, entah dari kalimat yang mana yang tadi dilontarkannya. Oh ya, menceritakan calon mantu yang mau melanjutkan pendidikan di entah bagian mananya dataran Eropa. Siapa peduli?

“Wah, bisa sekalian bulan madu dong, Bu,” ucapku dengan enggan.

“Iya... apalah Nduk, Ibu sudah tua. Apa lagi yang bisa ditunggu selain kehadiran cucu segera?” jawab si Ibu disertai tawa yang ganjil. “Ibumu juga pasti berpikir begitu, tho? Makanya, cepat-cepat.”

Oh astaga. Ingatkan aku tugasku setelah menangani tangan ini adalah menghias henna sang calon pengantin perempuan. Harus berapa lama lagi telingaku akan mendengar kalimat serupa ini?!

Dan begitu kipas di tangan kiri diletakkan karena tangan itu menjadi giliran dihias, seketika itu aku mematikan indra perasa. Terserah saja Ibu itu mau memuji-muji Adi-something atau entah siapa nama calon mantunya tersayang itu. Atau terus-terusan menyindir status lajangku.

Lima belas menit kemudian penderitaanku tahap pertama selesai.

Fiuh. Aku bernapas lega sejenak, membereskan peralatan tempurku yang berserakan lalu menyeruput teh yang tidak lagi hangat itu sementara si Ibu berteriak kepada orang di luar kamarnya untuk memanggilkan sang calon pengantin wanita.

Seorang wanita muda berparas ayu dituntun untuk mendekat kepadaku yang sudah stand by di kursi. Wajahnya pucat, meskipun itu tidak mengurangi kesan cantik padanya. Mungkin kelelahan menyiapkan pernikahan, gumamku, mencoba berprasangka baik.

“Alia ya?” aku menyapa dengan senyum tulus. Kurasa, wanita muda ini berkebalikan dengan ibunya. Kuharap demikian, karena aku tidak akan sanggup mendengarkan yang serupa seperti tiga puluh menit sebelum ini yang rasanya seperti puluhan jam.

Ia mengangguk dan membalas sapaanku dengan senyum.

“Pakai model yang sudah disepakati di gambar yang sudah saya kirim di WhatsApp kemarin, kan?”

Lagi-lagi ia mengangguk.

“Oke, mungkin pengerjaannya agak lama.”

“Asal ndak sampai magrib aja ya Nduk, soalnya nanti malam ada acara. Ndak tahu itu yang minta dari pihak laki-laki. Kitanya siap-siap saja. Alia juga musti dirias lho. Jadi calon manten harus cantik, betul kan?” Ibunya menyela, dan berbicara panjang lebar, seperti biasa.

Aku mengangguk-angguk. Mungkin akan berlangsung Malam Pacar, Malam Bainai, atau Mapacci, atau apalah sebutannya sesuai dari suku mana berasal. Namun inti sarinya sama.

“Enggak Bu,” aku tersenyum, “enggak sampai satu jam.” Aku menoleh ke arah jam dinding di satu sudut kamar yang menunjukkan masih pukul satu siang.

“Iya...” jawab si calon pengantin dengan lirih. “Dimulai saj—”

Bahkan belum selesai kata itu diucapkan, wanita muda itu melonjak dari kursi di depanku dan menuju ke arah pintu lain di kamar ini, menuju ke kamar mandi. Kudengar suara keran beradu dengan suara muntahan dari tempatku duduk.

“Aduh permisi dulu ya Nduk, Ibu harus mengurus makanan dulu sama orang catering,” ucap Ibu itu sembari keluar kamar. Melarikan diri. Mungkin malu dengan kondisi anaknya setelah bualannya tadi.

Aaah, aku mengerti. Lantas aku beranjak dari tempat dudukku dan menyusul si wanita muda yang terlihat kepayahan. Mau tidak mau pandanganku melirik ke arah perutnya yang tidak rata. Belum membesar memang, tapi cukup kentara. Pekerjaan menjadi asisten perias pengantin dan perias henna membuatku tidak satu atau dua kali menemukan kondisi seperti ini. Jadi tenang saja Alia, aku sudah terlatih.

“Berbaring saja kalau kelelahan, saya masih bisa menghias tangannya kok,” jawabku dengan tenang.

Dan begitu berbaring, wanita muda itu menjulurkan tangannya yang langsung kusambar untuk dihiasi dengan henna. Tak lama sesudahnya ia menangis. Aku jadi bingung sendiri. Entah mana yang lebih baik sekarang, mendengarkan bualan ibunya yang ternyata... (aku tak sanggup melanjutkan kalimat ini), atau mendengar tangisan si calon pengantin yang menyayat hati seperti ini.

Ah sudahlah, seharusnya aku tidak peduli. Aku sudah pernah mengalami kehilangan yang benar-benar menghancurkan kehidupanku. Seharusnya, aku hanya perlu bersikap profesional sekarang, bekerja sesuai dengan pekerjaanku. Meskipun itu dalam bentuk mengabaikan tangisan pilu seorang calon pengantin. Sebuah posisi yang sejak bertahun-tahun lalu kuidamkan. Dan belum tercapai hingga sekarang.

Apakah semua pernikahan harus diawali dengan sebuah kesempurnaan? Pikiranku berkelana sementara jemari terlatihku membubuhkan gambar di atas tangan klienku. Apakah sebuah pernikahan yang tidak sempurna bisa menjamin sebuah kebahagiaan? Jika tidak ada restu dari satu belah pihak keluarga, tidak bisakah pernikahan itu tetap terlaksana seperti cacat kecil yang tengah dialami wanita di hadapanku ini?

Tidak, Naya. Statusmu dan wanita itu berbeda. Kamu dan Hilmy tidak dapat melanjutkan pernikahan karena orangtua dan keluarga besar lelaki itu tidak menerimamu. Kamu tidak berasal dari golongan yang sama dengan mereka. Sementara wanita ini, mungkin terpaksa menikah karena telanjur berbadan dua.

“Kalau mual lagi, kasih tahu saja ya. Supaya saya bisa bantu ke kamar mandi dan pastikan henna-nya enggak rusak.”

Ia mengangguk. Dengan satu tangan ia menghapus air matanya yang meluber entah ke mana. Mau tidak mau aku jadi merasa kasihan. Meskipun aku tidak mengetahui di mana letak perlunya aku menghabiskan rasa kasihanku pada wanita itu.

“Menangis saja, saya pura-pura enggak lihat,” kataku, tanpa mengalihkan pandangan dari gambar bunga yang tengah kuukir di jemari kanannya. “Tapi, kalau tangan yang satunya sudah di-henna juga, jangan menangis lagi. Masa' saya yang menghapus air matanya nanti, hehe.”

Seketika wanita itu ikut tertawa bersamaku.

Sorry,” katanya.

It’s okay.

“Saya... jadi kehilangan konsep pernikahan impian gara-gara...” Ia kehabisan kata-kata.

Aku mengangguk-angguk mencoba bersimpati. Aku pun pernah kehilangan konsep pernikahan impian gara-gara kehadiranku yang tidak direstui.

“Tidak ada yang perlu disesali,” ucapku berusaha bijak. “Semua sudah terjadi. Hidup harus terus berjalan ke depan. Banyak hal yang baik menanti di sana.”

Tak lama wanita itu bisa duduk kembali, dan aku menyelesaikan satu tangan lainnya. Sepertinya ia menepati janji untuk tidak menyusahkanku dengan menghentikan tangisnya. Aku jadi bisa mengerjakan sisa pekerjaan dengan segera. Sesungguhnya ini hari yang berat bagiku. Tidak, bukan karena bertemu dengan Ibu cerewet yang tidak kuketahui namanya itu dengan anak perempuannya yang akan menikah dalam kondisi berbadan dua.

Bukan itu.

Sebelum berangkat kemari aku melihat sepucuk undangan di atas meja ruang tamu. “Untuk Naya dan Partner”, begitu yang tertulis di sana.

Dari Hilmy.

Sedikit lagi, bunga di telapak tangan kiri tinggal diberi polesan terakhir. Setelah itu aku akan menenggelamkan diri dalam kubangan kisah sedih masa depanku sendiri. Tentang seseorang yang begitu kusayangi yang benar-benar akan pergi.

Ponselnya berdering di dalam tas di nakas sebelah kursi kami.

“Maaf, Mbak, siapa namanya?”

Aku menoleh dan menghentikan pekerjaan terakhirku.

“Bisa minta tolong angkatkan ponsel saya?”

Aku mengerti, dan langsung mendatangi sumber suara. Kuangkat telepon itu dan meletakkan di telinganya.

Rasa penasaran menjalariku seolah tumbuhan merambat yang akan terus bergerak dan sebentar lagi mencekikku. Aku tersekat sekaligus kehilangan napas saat mendengar kalimat demi kalimat obrolan kedua wanita di telepon itu. Tanganku gemetar, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri. Obrolan mereka berlangsung datar disertai banyak helaan napas dari sang calon pengantin perempuan. Setelah pembicaraan berakhir, wanita itu menjadi sepucat kapas. Aku tidak berani becermin untuk melihat apakah wajahku sepucat wanita itu atau justru lebih parah lagi.

“Calon mertua,” jawabnya dengan berat, seolah aku bertanya.

“Aaah,” jawabku atas responnya. “K-kalau boleh tahu... yang tadi... Tante Hanna Asseg—”

“Mbak kenal sama...”

“S-saya teman anaknya. Aditya Hilmy Assegaf.” Seolah menantang kesakitan yang menjelma di dalam hatiku, aku menyebut namanya dengan lantang.

“A-ah. Dia... calon suami saya.”

Pyar. Hatiku yang rapuh pecah seketika. Aku tertawa. “Jadi ternyata undangan yang tadi pagi datang ke rumah itu undangan Mbak.” Aku kembali tertawa. Menertawakan nasibku sendiri.

“Saya teman SMA Hilmy.” Sahabat baik. Sampai lima bulan yang lalu. Aku memperkenalkan diri kembali.

Aku membereskan peralatanku, masih dengan tangan yang gemetar yang coba kututupi sebisa mungkin. “Kalau begitu, sampai jumpa hari Minggu, jawabku sambil berbenah dengan sedikit tergesa. “Semoga Malam Henna nanti malam sukses,” ucapku, dengan senyum artifisial yang terakhir sebelum bendungan di pelupuk mataku jebol.

“Saya pamit dulu.”

Aku lantas buru-buru pergi. Kubiarkan hiasan kelopak terakhir pada bunga di tangan kiri wanita itu tidak terselesaikan. Toh tidak akan ada yang menyadarinya. Seperti tidak akan ada yang menyadari bahwa wanita itu tengah berbadan dua. Seperti tidak akan ada yang menyadari bahwa ada luka kecil yang kembali menganga lebar, saat aku meninggalkan wanita itu pergi.

Tidak apa-apa, Naya. Yang kaubutuhkan hanya menangis sebentar. Lalu esok tersenyum lagi.

0 komentar: