Behind the scene,

Seseorang yang Mirip Karakter Fiksi Itu...




Sebenarnya ragu mau nulis ini, takut yang bersangkutan baca. Tapi, rasanya, nggak mungkin ah! Jadi saya tuliskan saja yah.

Pernahkah kalian bertemu seseorang di dunia nyata yang deskripsi fisiknya mirip dengan karakter fiksi sebuah buku? Saya, pernah. Parahnya lagi, karakter tersebut adalah ciptaan saya sendiri. Saya nggak tahu apakah ini pekerjaan alam bawah sadar saya yang membuat saya menuliskan seseorang yang mirip dengan orang yang saya kenal di dunia nyata. Tapi, yah, itu sudah terjadi, kawan!

Dalam menulis cerita, sebenarnya saya lebih menyukai karakter yang membumi, alias karakter yang banyak dijumpai dan dekat dengan pembaca. Untuk persepsi ganteng atau nggak juga dikembalikan ke selera pembaca yang punya penilaian versi ganteng mereka sendiri, hihihi.

Baiklah, sebelum curhatan ini dimulai, saya akan memperkenalkan salah satu tokoh kesayangan saya, namanya sebut saja Daun (karena Bunga untuk cewek). Daun ini anak remaja, badannya tinggi, berkacamata. Deskripsi fisiknya umum sekali, ya? Siapa pun bisa mengklaim dirinya mirip Daun jika postur badannya tinggi dan berkacamata. Tapi, ada satu deskripsi fisik yang membuatnya spesial. Dia punya lesung pipit samar di pipi kanan yang hanya muncul saat dia tersenyum. Oke, mari kita eliminasi cowok tinggi berkacamata yang tidak punya lesung pipit. Sayangnya, teman-teman dunia nyata saya jarang yang tinggi dan berkacamata--apalagi berlesung pipit di pipi kanan!

Oh, ada satu.

Serius deh, saya baru tahu tadi kalau seseorang itu punya lesung pipit samar. Di kanan pula!

Jadi, kalau kamu baca cerita di novel itu nantinya (semoga novelnya bakal terbit! Amin), dan menyadari bahwa deskripsi fisikmu mirip dengan tokoh di novel itu, percayalah, saya nggak bermaksud untuk membuatnya seperti kamu. Itu terjadi karena... takdir. Dan tulisan ini menjadi pembelaan saya. (Meskipun, sampai detik ini saya tidak tahu apakah tulisan ini bakal di-publish atau berakhir pada kotak delete.)

Jadi, saya galau. Bagaimana kalau dia mengira saya mengambil inspirasi dari dia? Bagaimana kalau dia kegeeran? Bagaimana kalau dia baca tulisan ini? Bagaimana kalau saya akhiri saja tulisan ini... hahaha.

Dan saya baru saja menyadari kalau nama karakter saya mengandung unsur nama seseorang tersebut. #bye

0 komentar:

Tips Menulis

Ternyata Menulis Sepotong-Sepotong Itu Menyenangkan Juga





Halo semuanya.

Rasanya lama sekali saya nggak mengisi blog ini, dan blog mana pun, sebenarnya. Entahlah, mungkin karena sibuk mengejar target beberapa novel (ahahaha, ini alasan ngeles saja sebenarnya sih), atau memang sedang writing slump saja. Nah, kebetulan malam ini saya kepikiran untuk menulis sesuatu di sini.

Sebenarnya, saya sedang mencari formula untuk menulis. Yah, penyesuaian dengan jadwal kegiatan di luar menulis yang mulai padat sekali. Saat libur sekolah dulu, saya bisa menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis, sehingga dalam sehari bisa berlembar-lembar buku yang saya baca dan tulisan yang bisa saya hasilkan. Ternyata, sekarang nggak bisa. Banyak ide mengalir, tapi waktu menulisnya nggak ada. Giliran sudah di depan laptop, idenya jadi melempem. Malangnya lagi, saya rewel soal mood menulis. Nggak bisa nulis di tempat terbuka karena nggak suka kalau ada yang ngintip "pekerjaan" saya, nggak bisa nulis di ponsel karena kecepatan ketikan tidak sebanding dengan kecepatan ide yang mengalir di kepala. Padahal, kalau saja bisa menulis sesuka hati dan di media mana pun, target menulis bisa terkejar. Atau minimal, saat ide muncul bisa segera dieksplorasi dalam bentuk tulisan.

Terkadang, seorang penulis memiliki kendala dalam hal melanjutkan naskahnya. Entah karena kepentok buntu ide untuk mengeksekusi adegan tertentu, atau justru malah bingung mau melanjutkan bagaimana lagi. Misalnya, saya sudah menulis sampai sebelas bab, lalu di bab kedua belas mulai muncul konflik baru. Rupanya konflik ini tidak saya sukai, atau saking menyeramkannya, bab ini membuat saya susah untuk menuliskannya. Masalahnya, jika si bab yang menjadi momok tersebut tidak saya lanjutkan, novel ini tidak akan bertemu dengan kata "tamat" di ujung tulisannya. Bagaimana saya harus menyiasatinya?

Saya pernah mendengar tips menarik dari Dewi Lestari (Dee). Dee pernah mengatakan (saya lupa apakah di Twitter atau blog pribadi beliau), salah satu kiat menulis yang dilakukannya adalah dengan menulis adegan per adegan, atau dalam hal ini saya menyebutnya menulis sepotong-sepotong. Tulis adegan mana yang paling ingin kamu tulis saat itu, lalu "jahit" adegan tersebut saat sudah dituliskan semua. Proses ini akan membantu seseorang yang sedang mengalami kebuntuan dalam menulis, alias terkena virus writer's block. Nah, dalam menulis novel yang tengah saya garap ini, saya sedang melakukan metode itu. Tulislah adegan mana yang sedang ingin kautulis. Simpan adegan yang belum ingin kautulis. Bagaimana cara kerjanya? Simak tips ala-ala saya ini, ya:

Pertama, sebelum kalian mencoba trik ini, setidaknya kalian sudah punya gambaran utuh cerita. Dalam imajinasi kalian, kalian sudah punya adegan per adegan penting yang akan ditulis nantinya. Untuk menjaga ingatan ini, catatlah poin-poin setiap bagian penting itu, baik dalam bentuk peta konsep atau mind map, coretan sinopsis, ditulis per poin, dan lain sebagainya, tergantung kenyamanan si penulis saja.

Kedua, beri tanda setiap bab-nya. Saya menggunakan fasilitas header yang ada di Ms Word 2013. Ini fungsinya sebagai tempat atau lokasi untuk menuliskan poin-poin ide tersebut.

Jika sudah punya lokasinya, ketiga, mulailah menuangkan ide-ide tersebut dalam tulisan. Saran saya, sebaiknya beberapa bab awal, menulisnya urut terlebih dahulu, minimal setelah semua tokoh utamanya dikenalkan. Bisa tiga bab awal, atau lima bab awal. Tidak ada aturan baku untuk itu. Supaya apa? Supaya kita punya pondasi yang kuat untuk tulisan kita. Setelah lewat dari masa perkenalan dan pemberian dasar yang kuat itu, saatnya kita melakukan trik menulis sepotong-sepotong ini.

Keempat, masuklah ke bagian mana dari plot yang sudah kalian rancang, yang sedang ingin kalian tulis sekarang. Misalnya, pondasi kalian sampai lima bab, tapi sekarang malah kepingin mengeksekusi plot di bab sembilan. Bergegaslah menulis, tangkap adegan demi adegan di bab sembilan itu. Eksplorasilah! Lantas bagaimana dengan bab enam sampai delapan yang dilewati itu? Selagi kalian punya poin utamanya, simpan dulu detilnya untuk dieksekusi nanti. Sekarang fokus pada plot di bab sembilan itu. Percayalah, setelah naskah kalian hampir jadi, lubang-lubang di bab mana pun pasti akan segera kalian isi dan lengkapi.

Kelima, lengkapilah bab-bab yang belum dieksekusi. Jagalah agar benang merah antarbab-nya jangan sampai putus. Berikan hints atau "remah roti" sebagai penghubung kisah itu seutuhnya.

Keenam, jahitlah semua adegan dengan rapi, hingga minimal kalian sendiri tidak menyadari bahwa keseluruhan cerita itu ditulis sepotong-sepotong, alias jahitannya rapi. Cek apakah masih ada yang bolong atau kosong di antara penghubungnya. Jika masih ada, baca lagi bab-bab sambungannya, muluskan hubungan mereka.

Itu dia trik dari saya. Nah, bagaimana? Apa kalian tertarik untuk menggunakan trik menulis sepotong-sepotong seperti ini?


_____
Sumber gambar, diedit oleh saya


0 komentar: