catatan sehari-hari

Apa yang Bisa Dibanggakan Anakku Kelak?

17.25 Unknown 0 Comments




Beberapa hari ini, ketika saya meluaskan sosial media dan bertemu dengan teman-teman lama di dunia maya, rasanya senang saat mendengar berita beberapa teman sedang berbadan dua. Teman-teman saya itu, yang dulunya senasib dan sepenanggungan, masih sama-sama belia, kini sedang menunggu bertambahnya tanggung jawab baru dalam hidup mereka. Rasanya, waktu berjalan begitu cepat, sekeliling saya sudah berubah begitu pesat. Sementara saya? Sepertinya saya begini-begini saja. Tidak ada sesuatu yang spesial dengan hidup saya.

Sementara itu, teman-teman saya berbagi kebahagiaan melalui status-status mereka. Tentang cerita-cerita seputar kehamilan yang tidak hanya mereka bagi pada pengguna sosial media lainnya, tapi mereka juga sedang berbincang pada calon anak mereka, yang pada akhirnya, suatu saat nanti, cerita itu akan sampai pula ke telinga-telinga mungil yang kini tengah berkembang di alamnya sana, yang tengah menanti-nanti kapan giliran tampil ke bumi tiba.

Rasanya, jahat kalau saya iri dengan kebahagiaan yang sedang mereka bagi. Sepertinya, saya merasa kehilangan empati jika saya menunjukkan rasa iri itu. Lagi pula, penyakit hati semacam iri hanya akan merusak diri sendiri. Namun, saya akan jujur mengatakan, bahwa tebersit rasa iri dari dalam hati saya. Pertanyaan-pertanyaan seputar, kapan saya bisa mengalami masa membahagiakan itu? Kapan kiranya Tuhan memberikan tanggung jawab serupa pada saya?

Saya tahu, bahwa perasaan itu jika didiamkan terlalu lama sungguh tak dibenarkan. Namun. pada akhirnya saya termenung. Terlepas dari kapan saya bisa menjadi sosok ibu, yang ada pertanyaan-pertanyaan lain bermunculan. Seperti misalnya, apakah suatu saat anak saya akan bangga memiliki ibu seperti saya? Apa kiranya yang dibanggakan anak saya kelak tentang saya? Sementara teman-teman saya menapaki prestasinya yang gemilang dalam hal karier maupun akademik, saya terhenti pada satu titik, titik terberat dalam hidup saya. Tanpa nama, tanpa dikenal oleh siapa-siapa, dan nyaris tanpa karya. Apalagi, saya mempunyai cita-cita untuk tidak berkarier di luar sana saat saya menikah kelak. Lalu, di tengah kehidupanmu kelak, anakku, apa kiranya yang bisa kaubanggakan dari ibumu ini?

Di sekeliling saya, barangkali saya adalah anomali, karena tidak ingin memiliki karier di luar rumah. Tidak ingin memiliki jam kerja ten to five, karena berharap dapat mendidik dan menikmati perkembangan anak-anak saya nantinya. Saya mempunyai alasan personal untuk memutuskan itu. Meskipun, rasanya konsekuensi berat (terutama tentang berkurangnya penghasilan, nantinya) membayangi keputusan itu. Ini bahkan masih keputusan sepihak. Saya hanya bisa berharap menemukan mulut botol yang pas dengan tutup botol yang saya pegang. Hingga pada akhirnya, keselarasan bakal terjadi dan mimpi serta asa tentang itu, bisa terjalin.

Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali: 

Wahai anakku di masa depan, jika ini cita-cita ibu kelak untuk membesarkanmu, dapatkah kau membanggakan Ibu dalam hati kalian? Mungkin, teman-teman sebaya kalian memiliki ibu yang berprofesi meyakinkan, atau bekerja di instansi ini dan itu. Mungkin, ibu-ibu mereka akan menceritakan bagaimana perjuangan mereka saat mengandungmu. Mungkin, Ibu tidak akan memiliki cerita itu. Dan jika itu yang terjadi, apakah Ibu akan tetap spesial di hati kalian?



Sebuah catatan tengah malam, yang dituliskan pagi hari setelahnya.


0 komentar: