Cerpen

Tarian Kemarau





Matahari mencapai puncaknya saat gadis dengan kaki gemetar melangkah ke tengah ladang kering kerontang. Dadanya bergemuruh bagaikan embusan badai di musim salju. Laksana deru es memeluk angin kencang yang menghantam setiap gubuk kecil yang hanya memiliki kayu bakar terakhir dengan api menyala sendu. Tapi itu semua hanya berlangsung dalam benak sang dara. Tidak pernah ada badai salju di tanah mereka. Meskipun ada, dan andaikan badai salju tersebut akan memorak-porandakan gubuk mereka, itu jauh lebih baik ketimbang puncak kemarau yang tengah melanda sekarang.

Setidaknya, jika musim dingin itu terjadi, aku tidak perlu mengalami ketakutan seperti sekarang, batinnya.

Tangannya menggenggam sebatang bambu dengan ujung runcing yang bahkan tidak pernah ditatapnya. Dari jarak tidak terlalu jauh darinya, pemuda berusia dua tahun lebih muda darinya menghunuskan pedang, tatapannya mengandung nafsu untuk mengalahkannya dalam sekali tebasan. Gadis itu, Matilda namanya, hanya berani menatap getir, tidak mampu menyembunyikan ketakutan yang bersemayam pada kedua bola matanya, membiarkan sang pemuda meraup sisa-sisa harapan yang dia miliki… kalau masih ada.

***

“Aku sudah memutuskan…,” tatapannya melayang ke atas kasur, saudara lelakinya terbaring tak berdaya di sana, “aku yang akan menggantikan Victor pada Turnamen Tarian Kemarau nanti,” lanjutnya dengan pelan namun tegas.

Seketika gubuk yang hanya memiliki satu obor sebagai penerangan itu hening. Sebuah keheningan yang menyayat hati, bagaikan permainan suling dalam upacara kematian di Halfland yang dilangsungkan secara turun-temurun hingga sekarang. Dan keheningan itu dipecahkan oleh isak tangis teredam salah seorang adik perempuannya.

“Ba… bagaimana mungkin aku membiarkanmu turun dalam turnamen itu, Matilda?! Setelah apa yang dialami Victor dua tahun yang lalu pada turnamen yang sama?!” pekik Hilde, adiknya.

***
  
Gemuruh penonton di pinggir ladang membuyarkan ingatannya yang tadi sempat berkelana menyusuri masa beberapa hari sebelum dirinya berada di pusat keramaian ini. Pandangan Matilda bergerak menyusuri penonton, barangkali adik-adiknya ada di antara kerumunan mereka, menontonnya. Meskipun beberapa kali ia mengharapkan tidak ada satupun kerabatnya yang akan menangisi darahnya yang tertumpah di atas retakan tanah ladang panas dan kering.

*** 

“Victor tidak pernah muncul sejak kekalahannya dua tahun lalu, aku tidak dikenal oleh mereka. Dan aku yakin, mereka tidak akan pernah memedulikan apakah Victor atau siapa pun yang akan mewakili rumah ini dalam turnamen.” Dadanya seolah berapi, bagaikan ranting dan daun kering di puncak musim panas yang terkadang membakar dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah membiarkan mereka membawa Victor yang lemah.” Suara Matilda tersekat. 

Dia bisa membaca pikiran Hilde, bahkan Magdalena adik bungsunya yang bisu dan hanya menatap dirinya dengan berkaca-kaca. Satu-satunya pilihan yang paling memungkinkan adalah membiarkan Victor masuk ke dalam pertandingan, dengan begitu bisa memuluskan jalan kakak sulung mereka menuju kehidupan selanjutnya hingga tidak lagi merasakan kesakitan. Itu adalah satu-satunya pilihan, hingga Matilda mencetuskan niatnya untuk menggantikan posisi Victor, mengenakan jubah dan baju zirahnya, memasang ikat kepala hitam sebagai pertanda bahwa dia pernah menjalani pelatihan militer bersama banyak pemuda di tanah Halfland beberapa waktu silam.

***

Tarian Kemarau, pesta akbar pemanggil hujan di mana awal mulanya para cenayang dan pertapa percaya, bahwa bumi di puncak kemarau pada siklus dua tahunan meminta persembahan. Semua pemilik rumah harus mempersembahkan pemuda mereka sebagai peserta. Darah yang membasuh retakan-retakan tanah pada ladang gandum akan kembali menyuburkan, mengundang hujan turun mengguyur tanah mereka. Raja dan panglima perang turut menabuh genderang, dengan menjadikannya sebagai pesta rakyat dan ladang untuk mencari kesempatan merekrut para perwira baru—mengabaikan yang mati atau terluka parah, ya, tentu saja, Victor adalah contohnya.

“Ini akan sangat mudah untuk diselesaikan,” geram pemuda bernama Vlad.

Satu tebasan pedang menggores lengan Naya, darah menetes pada ujung pedang perak itu. Seringai muncul pada bibir Vlad, barangkali tengah membayangkan dua puluh keping emas yang akan ia dapatkan jika melewati babak pertama, lalu dua ratus jika dia sanggup melesat di babak kedua, dan dua ribu emas jika berhasil memenangkan pertandingan ini sampai selesai.

***

"Aku yang wajahnya paling mirip dengan Victor, aku yang bertanggung jawab menjaga kalian setelah Victor tidak mampu melakukannya. Dan aku, adalah seorang pekerja di dapur istana. Melakukan itu bahkan mungkin akan semudah menebas daging kalkun atau mencincang biri-biri sebagai makan siang para pekerja di istana." Suara Matilda melemah dan bergetar.

Hilde hendak meneriakkan tangisnya, namun ditahan karena tidak ingin membangunkan kakaknya yang tengah tidur terkulai lemah. Hanya Magdalena yang bangkit. Air matanya sudah diusap dengan punggung tangannya, tangan mungil itu mengambil sebilah belati, membuat kedua kakaknya terkejut dengan apa yang dilakukan si bungsu bisu mereka.

***

Satu tebasan lagi menerabas ke arah kiri, namun tindakan impulsif sang gadis, secekatan saat ia menghampiri tungku ketika air rebusan kepala kambing yang ada di dalamnya mendidih dan hendak meluap dan menyimburkan air untuk memadamkan apinya di bawah panci, secepat itulah ia mengelak dari serangan yang baru ini. Dadanya masih berdebar. Gadis itu terkejut, lawannya gemas dengan upaya pembelaan dirinya.

“Orang yang bangkit dari sekarat bisa juga membela diri? Apa kabar Victor? Lelah dengan tidur panjangmu?” ejek Vlad kepadanya.

Gemuruh kembali melanda dada Matilda. Ia tahu yang dirinya lakukan hanyalah perlu diam, sediam yang Magdalena lakukan, untuk memerankan skenario ini.

Untuk memenangkan babak dalam pertempuran, petarung hanya perlu menjatuhkan dan memerahkan tanah dengan darah lawan. Hanya itu. Tapi, jarang menemukan para petarung baik hati yang mau membiarkan lawannya terjatuh saja. Dan Matilda telanjur berjanji pada Magdalena untuk melakukan satu hal.

Dua kali lengan kanannya tertebas, yang ini cukup dalam. Ini hanya seperti tergores pisau daging! batinnya meyakinkan diri. Tapi Matilda masih berdiri dengan kedua kakinya. Tombak yang menjadi senjata membantunya untuk bertahan.

SRET!

Vlad memotong bambunya hingga terbelah menjadi dua, Matilda berdiri limbung tanpa tumpuan bersandar. Bambunya menyisakan setengah. Matanya menyalang, menatap tegas wajah lelaki itu. Dengan kekuatan entah datang dari mana, gadis itu akhirnya bersuara.

“Aku tidak akan membiarkan nyawaku dihargai hanya dengan dua puluh keping emas!”

Vlad terkejut mendengar suara perempuan, dan saat ia lengah itulah si gadis kidal memindahkan bambunya. Dengan ujung yang terbelah ia menggoreskan luka di tempat yang sama dengan yang didapatnya. Bunyi pedang berkelontang jatuh, satu kaki sang gadis menendang dada sang lawan dan membiarkan pemuda itu terjerembab di tanah. Darah lawannya telah membasahi bumi, masuk ke dalam rongga tanah yang retak.

“Kau! Bisa-bisanya!”

Gemuruh suara dan tabuhan gendang semakin memekakkan telinga saat mereka telah mendapatkan pemenangnya.

Setidaknya, Matilda telah menepati janji pada adiknya, dan ia tahu bahwa Magdalena akan melaksanakan janji yang ia minta, di malam saat gadis itu memotong rambut panjang miliknya.


***

Mata Magdalena berkaca-kaca, namun tangannya sigap, mencengkeram pirang platina berombak milik kakaknya. Terdengar bunyi gesekan rambutnya dengan belati… dan kini jatuh ke atas lantai kamar tempat mereka berkumpul di malam itu. Hilde berlari keluar kamar dan berlari ke peraduannya sendiri. Dari bawah, raungannya masih terdengar samar. 

“Jadi, kau merestuiku, Magdalena?”

Gadis itu mengangguk, namun belatinya dengan cekatan memotong rambut panjang Matilda. Dia tahu, jika ingin menggantikan peran Victor, Matilda harus melakukannya dengan sempurna.

“Jika aku menjadi korban nanti, kaulah yang akan menggantikan peranku di rumah ini.” Matilda menahan suaranya supaya tetap tenang. “Hilde, biarkan dia memupuk dan meraih mimpinya untuk menjadi seorang istri pekerja istana. Biarkan dia menempuh jalannya. Tapi kau, kau harus percaya, Victor akan pulih. Aku percaya itu. Kau hanya perlu bersabar dan terus merawatnya….”

Suaranya terhenti karena adiknya menatap wajahnya lekat, Matilda melihat kesungguhan yang tidak pernah dilihat sebelumnya pada gadis tiga belas tahun itu.

“Aku berjanji, nyawaku tidak akan kubiarkan hanya seharga dua keping emas saja.”



_____
Pernah di-posting di sini, diubah sesuai kebutuhan. Sumber gambar.

0 komentar:

Behind the scene,

Seseorang yang Mirip Karakter Fiksi Itu...




Sebenarnya ragu mau nulis ini, takut yang bersangkutan baca. Tapi, rasanya, nggak mungkin ah! Jadi saya tuliskan saja yah.

Pernahkah kalian bertemu seseorang di dunia nyata yang deskripsi fisiknya mirip dengan karakter fiksi sebuah buku? Saya, pernah. Parahnya lagi, karakter tersebut adalah ciptaan saya sendiri. Saya nggak tahu apakah ini pekerjaan alam bawah sadar saya yang membuat saya menuliskan seseorang yang mirip dengan orang yang saya kenal di dunia nyata. Tapi, yah, itu sudah terjadi, kawan!

Dalam menulis cerita, sebenarnya saya lebih menyukai karakter yang membumi, alias karakter yang banyak dijumpai dan dekat dengan pembaca. Untuk persepsi ganteng atau nggak juga dikembalikan ke selera pembaca yang punya penilaian versi ganteng mereka sendiri, hihihi.

Baiklah, sebelum curhatan ini dimulai, saya akan memperkenalkan salah satu tokoh kesayangan saya, namanya sebut saja Daun (karena Bunga untuk cewek). Daun ini anak remaja, badannya tinggi, berkacamata. Deskripsi fisiknya umum sekali, ya? Siapa pun bisa mengklaim dirinya mirip Daun jika postur badannya tinggi dan berkacamata. Tapi, ada satu deskripsi fisik yang membuatnya spesial. Dia punya lesung pipit samar di pipi kanan yang hanya muncul saat dia tersenyum. Oke, mari kita eliminasi cowok tinggi berkacamata yang tidak punya lesung pipit. Sayangnya, teman-teman dunia nyata saya jarang yang tinggi dan berkacamata--apalagi berlesung pipit di pipi kanan!

Oh, ada satu.

Serius deh, saya baru tahu tadi kalau seseorang itu punya lesung pipit samar. Di kanan pula!

Jadi, kalau kamu baca cerita di novel itu nantinya (semoga novelnya bakal terbit! Amin), dan menyadari bahwa deskripsi fisikmu mirip dengan tokoh di novel itu, percayalah, saya nggak bermaksud untuk membuatnya seperti kamu. Itu terjadi karena... takdir. Dan tulisan ini menjadi pembelaan saya. (Meskipun, sampai detik ini saya tidak tahu apakah tulisan ini bakal di-publish atau berakhir pada kotak delete.)

Jadi, saya galau. Bagaimana kalau dia mengira saya mengambil inspirasi dari dia? Bagaimana kalau dia kegeeran? Bagaimana kalau dia baca tulisan ini? Bagaimana kalau saya akhiri saja tulisan ini... hahaha.

Dan saya baru saja menyadari kalau nama karakter saya mengandung unsur nama seseorang tersebut. #bye

0 komentar:

Tips Menulis

Ternyata Menulis Sepotong-Sepotong Itu Menyenangkan Juga





Halo semuanya.

Rasanya lama sekali saya nggak mengisi blog ini, dan blog mana pun, sebenarnya. Entahlah, mungkin karena sibuk mengejar target beberapa novel (ahahaha, ini alasan ngeles saja sebenarnya sih), atau memang sedang writing slump saja. Nah, kebetulan malam ini saya kepikiran untuk menulis sesuatu di sini.

Sebenarnya, saya sedang mencari formula untuk menulis. Yah, penyesuaian dengan jadwal kegiatan di luar menulis yang mulai padat sekali. Saat libur sekolah dulu, saya bisa menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis, sehingga dalam sehari bisa berlembar-lembar buku yang saya baca dan tulisan yang bisa saya hasilkan. Ternyata, sekarang nggak bisa. Banyak ide mengalir, tapi waktu menulisnya nggak ada. Giliran sudah di depan laptop, idenya jadi melempem. Malangnya lagi, saya rewel soal mood menulis. Nggak bisa nulis di tempat terbuka karena nggak suka kalau ada yang ngintip "pekerjaan" saya, nggak bisa nulis di ponsel karena kecepatan ketikan tidak sebanding dengan kecepatan ide yang mengalir di kepala. Padahal, kalau saja bisa menulis sesuka hati dan di media mana pun, target menulis bisa terkejar. Atau minimal, saat ide muncul bisa segera dieksplorasi dalam bentuk tulisan.

Terkadang, seorang penulis memiliki kendala dalam hal melanjutkan naskahnya. Entah karena kepentok buntu ide untuk mengeksekusi adegan tertentu, atau justru malah bingung mau melanjutkan bagaimana lagi. Misalnya, saya sudah menulis sampai sebelas bab, lalu di bab kedua belas mulai muncul konflik baru. Rupanya konflik ini tidak saya sukai, atau saking menyeramkannya, bab ini membuat saya susah untuk menuliskannya. Masalahnya, jika si bab yang menjadi momok tersebut tidak saya lanjutkan, novel ini tidak akan bertemu dengan kata "tamat" di ujung tulisannya. Bagaimana saya harus menyiasatinya?

Saya pernah mendengar tips menarik dari Dewi Lestari (Dee). Dee pernah mengatakan (saya lupa apakah di Twitter atau blog pribadi beliau), salah satu kiat menulis yang dilakukannya adalah dengan menulis adegan per adegan, atau dalam hal ini saya menyebutnya menulis sepotong-sepotong. Tulis adegan mana yang paling ingin kamu tulis saat itu, lalu "jahit" adegan tersebut saat sudah dituliskan semua. Proses ini akan membantu seseorang yang sedang mengalami kebuntuan dalam menulis, alias terkena virus writer's block. Nah, dalam menulis novel yang tengah saya garap ini, saya sedang melakukan metode itu. Tulislah adegan mana yang sedang ingin kautulis. Simpan adegan yang belum ingin kautulis. Bagaimana cara kerjanya? Simak tips ala-ala saya ini, ya:

Pertama, sebelum kalian mencoba trik ini, setidaknya kalian sudah punya gambaran utuh cerita. Dalam imajinasi kalian, kalian sudah punya adegan per adegan penting yang akan ditulis nantinya. Untuk menjaga ingatan ini, catatlah poin-poin setiap bagian penting itu, baik dalam bentuk peta konsep atau mind map, coretan sinopsis, ditulis per poin, dan lain sebagainya, tergantung kenyamanan si penulis saja.

Kedua, beri tanda setiap bab-nya. Saya menggunakan fasilitas header yang ada di Ms Word 2013. Ini fungsinya sebagai tempat atau lokasi untuk menuliskan poin-poin ide tersebut.

Jika sudah punya lokasinya, ketiga, mulailah menuangkan ide-ide tersebut dalam tulisan. Saran saya, sebaiknya beberapa bab awal, menulisnya urut terlebih dahulu, minimal setelah semua tokoh utamanya dikenalkan. Bisa tiga bab awal, atau lima bab awal. Tidak ada aturan baku untuk itu. Supaya apa? Supaya kita punya pondasi yang kuat untuk tulisan kita. Setelah lewat dari masa perkenalan dan pemberian dasar yang kuat itu, saatnya kita melakukan trik menulis sepotong-sepotong ini.

Keempat, masuklah ke bagian mana dari plot yang sudah kalian rancang, yang sedang ingin kalian tulis sekarang. Misalnya, pondasi kalian sampai lima bab, tapi sekarang malah kepingin mengeksekusi plot di bab sembilan. Bergegaslah menulis, tangkap adegan demi adegan di bab sembilan itu. Eksplorasilah! Lantas bagaimana dengan bab enam sampai delapan yang dilewati itu? Selagi kalian punya poin utamanya, simpan dulu detilnya untuk dieksekusi nanti. Sekarang fokus pada plot di bab sembilan itu. Percayalah, setelah naskah kalian hampir jadi, lubang-lubang di bab mana pun pasti akan segera kalian isi dan lengkapi.

Kelima, lengkapilah bab-bab yang belum dieksekusi. Jagalah agar benang merah antarbab-nya jangan sampai putus. Berikan hints atau "remah roti" sebagai penghubung kisah itu seutuhnya.

Keenam, jahitlah semua adegan dengan rapi, hingga minimal kalian sendiri tidak menyadari bahwa keseluruhan cerita itu ditulis sepotong-sepotong, alias jahitannya rapi. Cek apakah masih ada yang bolong atau kosong di antara penghubungnya. Jika masih ada, baca lagi bab-bab sambungannya, muluskan hubungan mereka.

Itu dia trik dari saya. Nah, bagaimana? Apa kalian tertarik untuk menggunakan trik menulis sepotong-sepotong seperti ini?


_____
Sumber gambar, diedit oleh saya


0 komentar:

Tips Menulis

Apa yang Sebaiknya Dilakukan...



Halo teman-teman, kembali lagi dengan tips menulis dari saya. Tulisan ini ada kaitannya dengan tulisan saya sebelumnya yang berjudul: Mengapa Naskahnya Perlu Distirahatkan Setelah Selesai Dibuat? Kamu bisa mengunjungi tulisan saya itu untuk mengetahui apa yang saya bagi di sana. Nah, kali ini, saya akan memberikan kiat-kiat apa saja yang sebaiknya dilakukan saat naskah kita sedang "istirahat". Mengapa kata "istirahat"-nya diberi tanda kutip? Karena, yang dimaksud istirahat di sini adalah saat naskah didiamkan dulu setelah selesai dibuat. Untuk lebih lengkapnya, silakan dibaca artikel yang ada di tautan di atas, ya.

Jadi, ada beberapa hal yang biasanya saya lakukan ketika menyelesaikan naskah dan memasuki tahap "istirahat". Yang paling saya suka (dan saya rekomendasikan) adalah membaca buku. Bukan berarti di luar waktu khusus ini saya tidak membaca buku. Hanya saja, momen istirahatnya naskah (dan penulisnya) adalah saat yang tepat untuk diisi dengan membaca buku. Buku apa yang sebaiknya dibaca? Saran saya, buku yang memiliki genre atau tema sejenis dengan buku yang sedang kita tulis.

Saat sedang merampungkan proses editing terakhir naskah Carisa dan Kiana, saya dipertemukan dengan novel Ada Cinta di SMA. Mengapa akhirnya memutuskan membaca novel itu? Karena saya merasa ada plot yang mirip dengan cerita milik saya yakni tentang pemilihan ketua OSIS. Akhirnya, saya membaca novel itu dan suka. Saya jadi menemukan satu penulis novel favorit baru dari sana. 

Sebenarnya, tebersit keraguan saat mencari bacaan yang sejenis dengan cerita yang kita buat. Bagaimana jika ternyata premis yang saya buat sudah pernah dibuat oleh penulis sebelumnya? Bagaimana jika terdapat banyak sekali kemiripan dengannya? Apa jangan-jangan kita justru akan dituduh memplagiat? Nah, proses banyak membaca ini bisa memberikan banyak pula masukan dan pembuktian pada diri sendiri apakah ternyata kisah kita terlalu pasaran atau tidak. Dari novel Ada Cinta di SMA, untungnya saya tidak mendapatkan kesamaan jalannya cerita. Satu kelegaan muncul setelah membacanya.

Setelah membaca novel itu pula, saya jadi mendapatkan perspektif baru tentang gaya menulis yang menarik, dan yang lebih penting lagi... dinamis. Saya mendapatkan banyak pelajaran menulis dari sana, yang tentu bisa saya aplikasikan pada tulisan saya. Bagaimana caranya "menggerakkan kamera" untuk mengenalkan para tokohnya, bagaimana membuat paragraf menjadi efektif dengan kalimat pendek-pendek, bagaimana membentuk karakter dan menggunakan sudut pandang karakter cowok. Banyak sekali. Mengisi waktu istirahat menulis novel dengan membaca adalah pilihan yang sangat saya anjurkan.

Lantas, bagaimana jika saat momen membaca buku sejenis, kita menemukan ada cerita yang sangat mirip dengan punya kita? Padahal, kita tidak bermaksud untuk plagiat. Kita tidak tahu ada kisah serupa yang sudah dibukukan duluan. Eits, jangan panik dulu. Pertama, kamu harus bersyukur. Kenapa bersyukur? Karena kamu tahunya duluan. Bayangkan jika naskahmu sudah diterima penerbit, atau bahkan sudah terbit, tapi kamu sadarnya belakangan (atau lebih sedih lagi, yang menyadarkanmu adalah pembaca)? Tentu kamu tidak memiliki kesempatan untuk "memperbaikinya" karena naskahmu sudah terbit duluan. Kalau ketahuannya saat momen naskahnya lagi istirahat, kamu masih punya kesempatan dan pilihan untuk nasib naskahmu. Apakah akan merombaknya sedikit hingga premis dan jalan ceritanya sedikit berbeda, atau mempertahankan naskahmu dan berupaya menjadikannya lebih unggul ketimbang novel yang mirip itu. Saran saya, kalau kamu menemukan kejadian seperti ini, sebaiknya naskahmu diubah sedikit. Percayalah, mengubah sedikit jauh lebih mudah ketimbang merombak semuanya. Kamu pasti tahu celah mana yang bisa kamu ubah tanpa mengulang kembali naskah itu. Kamu juga pasti tahu kira-kira mau dibawa ke mana plot ceritamu itu. Kalau masih mentok juga, libatkan orang lain untuk memberikan masukan kepadamu. Tentunya orang itu yang sedikit banyak mengerti dengan apa yang sedang kamu hadapi.

Selain membaca, aktivitas lain yang saya anjurkan adalah menulis. Ya, menulis apa pun, selain menulis naskah yang baru saja selesai dibuat itu. Pokoknya, selama masa istirahat, naskah yang sudah jadi itu jangan diutak-atik dulu. Silakan menulis apa pun, bisa menulis naskah lain, bisa menulis blog, resensi buku, atau apa saja. Saat menulis artikel ini, sebenarnya saya sedang memasuki masa istirahat bagi novel yang baru saja saya selesaikan tiga hari lalu. Jadi, ini sedang memasuki masa transisi sambil mengistirahatkan si naskah yang itu. Aktivitas menulis bisa membuat kita lupa dengan naskah itu, juga bisa memancing untuk siap mengedit jika masa istirahatnya telah selesai. Selain itu, menulis (asal yang ditulis mempunyai manfaat dan kebaikan) juga akan membawa kebaikan pada diri sendiri kelak. Saya percaya dengan mantra tersebut.

Satu lagi yang tak kalah penting sebagai pengisi waktu istirahat adalah: belajar. Barangkali ilmu kita tentang menulis masih kurang, inilah saat yang tepat untuk belajar. Karena, setelah masa istirahat selesai, pekerjaan kita masih banyak. Self-editing adalah fase yang sama pentingnya dengan fase menulis. Memang, saat naskah kita suatu saat nanti diterima oleh penerbit, akan ada editor yang mengedit dan memperbaiki naskah kita. Namun, alangkah jauh lebih baiknya, sebelum draf pertama kita dibaca editor, kita sudah memberikan naskah terbaik, yang rapi, dan kalau bisa tidak ada kesalahan di sana (baik yang berhubungan dengan kelogisan isi cerita, teknik menulis yang baik dan benar, hingga kesalahan pengetikan). Ingat, tugas editor adalah menyempurnakan, bukan memperbaiki. Segala macam proses perbaikan seharusnya sudah selesai saat kita menyerahkan naskah ke penerbit. Sehingga, proses selanjutnya akan lebih mudah.

Apa saja yang perlu kita pelajari di sini? Sebenarnya banyak. Saya bisa memberikan beberapa contohnya, dan teman-teman bisa mencari contoh lainnya sendiri. Misalnya, kita perlu mempelajari apa itu teknik "show not tell". Kita juga perlu belajar lagi kaidah penulisan yang baik dan benar. Mempelajari kata majemuk mana yang dipisah atau disambung, jenis-jenis imbuhan, majas, dan lain sebagainya. Proses belajar ini juga akan bermanfaat tidak hanya saat proses self-editing saja, tapi juga akan memperbaiki tulisan kita pada naskah-naskah selanjutnya. 

Terakhir, tidur. Nah, bagi kalian yang suka begadang untuk menyelesaikan naskah, apalagi jika mengerjakan naskahnya mencuri-curi waktu di sela kesibukan lainnya, momen istirahat bisa diisi dengan melakukan istirahat yang sesungguhnya. Lepaskan sejenak dari pemikiran tentang plot, jalan cerita, eksekusi ide, dan lain sebagainya. Lupakan pula sejenak bagaimana nasib si naskah selanjutnya. Pemikiran tentang apakah naskah ini layak terbit, mau diterbitkan di mana, bakal diterima dengan baik atau tidak, disimpan dahulu. Istirahatkan diri sebentar, saja. Ketika sudah cukup masa istirahatnya, semoga kita bisa hadir dengan semangat dan optimisme yang baru.

Jadi, sudah kepikiran mau mengisi waktu istirahat kalian dengan melakukan kegiatan apa?


____
Source pict, edited by me



0 komentar:

Tips Menulis

Mengapa Naskahnya Perlu Distirahatkan Setelah Selesai Dibuat?




Sebenarnya, saya masih belum pantas memberikan tips menulis. Rasanya, ilmu yang saya miliki pada bidang ini tidaklah seberapa. Tetapi, karena niatnya adalah untuk berbagi cerita dan berbagi sedikit ilmu dan pengalaman, maka saya memberanikan diri untuk menulis beberapa tips yang saya pernah alami dan rasakan.

Sebagaimana banyak sekali tips menulis yang beredar di luar sana, tentang "mendiamkan" naskah yang sudah jadi, saya akan berbagi kisah ini kepada kalian para pembaca. Saya adalah tipikal orang yang mengelarkan sebuah novel dulu baru mengeditnya belakangan. Terkadang, ada juga masanya berhenti menulis dan mengedit beberapa bagian. Tapi, itu bukan teknik menulis yang disarankan. Mengedit saat menulis biasanya menjadi salah satu penghambat tidak selesai-selesainya sebuah novel. Karena, kita jadi kebanyakan berhenti. Sementara, imajinasi kita terus berkembang dan berupaya menjadikan calon naskah kita itu sesempurna mungkin. Sebagaimana kesempurnaan itu adalah hal semu kalau terus dikejar, alhasil jalan si naskah untuk bertemu dengan kata "tamat" masih sangat jauh. Jadi, saya lebih memilih merampungkan cerita hingga selesai, baru memikirkan proses editing belakangan. Dengan begini, setelah sebuah cerita tersusun secara utuh, setidaknya kita sudah punya hasil pekerjaan kita tersebut.

Lalu, jika naskahnya sudah jadi, apakah perkerjaan kita sudah selesai? Eits, jangan berbangga hati dulu. Perjalanan naskah itu masih sangat panjaaang sekali. Ketika naskah sudah utuh, barulah proses self-editing berlangsung. Namun, saya tidak menyarankan untuk langsung mendedah dan mengedit naskah itu. Jangan dulu. Biarkan dulu kamu istirahat, karena mengerjakan sebuah novel tentu membutuhkan waktu yang tidaklah singkat. Belum lagi, energi yang terkuras saat menggarapnya juga banyak sekali. Jadi, selagi kamu menikmati jeda, naskahmu juga perlu yang namanya "istirahat". Beri waktu pada naskahmu dan diri sendiri untuk beristirahat. Jauhkan pikiranmu dari plot, detail cerita, karakter, dan segala macam hal tentang naskahmu itu.

Sebenarnya, fase istirahat itu bertujuan untuk apa, sih? Banyak hal yang bisa didapat dari melakukan proses break tersebut. Pertama, kamu akan memiliki jarak dengan naskahmu. Saat kamu mengeditnya nanti, kamu tidak lagi memosisikan diri sebagai penulis, melainkan pembaca. Penulis adalah orangtua dari naskahnya. Apa yang biasanya dilakukan orangtua pada anaknya? Tentu membanggakan kemampuan sang anak. Pun begitu juga dengan hubungan penulis dan naskah. Dalam sudut pandang penulis, ia yang merasa mengenal naskahnya luar-dalam, pasti memiliki alasan mengapa naskahnya layak baca. Dengan mudah ia bisa memberikan daftar keunggulan-keunggulan naskah itu. Nah, inilah yang perlu dikurangi. Semakin dekat hubungan emosional penulis dan tulisannya, dikhawatirkan akan menjadi semakin subjektif dalam melihat isi naskah secara keseluruhan. Untuk menghindari kesubjektifan itulah kamu harus menjaga jarak. Saat menjaga jarak itu, kamu perlahan-lahan bisa mengurangi kadar kecintaanmu pada si naskah, juga melupakannya untuk sementara waktu. Supaya apa? Supaya kamu bisa memosisikan diri sebagai seorang pembaca.

Saat kamu membaca cerita orang lain, kamu tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadapnya. Kamu belum mengenal tokoh-tokohnya, belum mengetahui secara detail isi cerita, apalagi akhirnya. Jadinya, kamu akan peka dengan kekurangan-kekurangan naskah itu. Entah dari sisi kelogisan, atau adakah jalan cerita yang belum tereksekusi dengan sempurna, atau adakah plot hole di sana? Kamu bisa lebih mudah menyadarinya. Nah, saat kamu memosisikan diri sebagai pembaca pada naskahmu, kamu akan menemukan hal-hal yang bisa kamu perbaiki saat proses editing nantinya. Apakah kalimat yang kutulis sudah efektif? Adakah yang perlu dibuang atau ditambahi? Dan juga, masih adakah kesalahan penulisan yang terjadi? Itu semua bisa dengan mudah kamu rasakan ketika kamu sudah berjarak pada naskahmu.

Kedua, saat kamu istirahat dari penyelesaian naskahmu, kamu bisa melakukan banyak hal yang tidak sempat kamu lakukan saat kamu konsen pada proyekmu. Kamu dapat memanfaatkan waktu itu untuk mengistirahatkan diri dan melakukan banyak hal di sana. Siapa tahu, kamu justru mendapat ide untuk naskah selanjutnya, kan?

Nah, sebaiknya, berapa lama waktu istirahat itu berlangsung? Ada yang mengatakan bahwa sebaiknya jedanya cukup lama. Semakin kamu melupakan naskahmu, semakin objektif nantinya saat kamu mulai pengerjaan self-editing. Namun, jangan terlalu lama juga. Khawatirnya, semangat saat menulis dan merampungkan cerita bisa mengendur atau bahkan hilang. Bagi saya, idealnya mengistirahatkan naskah itu adalah satu sampai dua minggu. Kalau keburu-buru, tiga sampai empat hari juga cukup.

Jadi, sudah seberapa jauh perkembangan naskahmu? Jika sudah mendekati rampung, apakah kamu sudah siap untuk mengubah mindset dari "sebagai penulis" menjadi "sebagai pembaca" saat naskahmu selesai nanti?


_____
Source pict, edited by me

0 komentar:

catatan sehari-hari

Sebuah Mimpi tentang Rumah

(sumber)



Di sela-sela mimpi yang selalu buruk, semalam saya bermimpi tentang rumah. Ya, akhir-akhir ini saya sering sekali bermimpi buruk. Tidak hanya mimpi buruk, insomia juga hampir selalu mampir. Jadi, mimpi tentang rumah semalam benar-benar menenangkan. Sampai sekarang, bahkan saya masih bisa mengingat bagaimana visualisasi rumah itu. 

Rumah saya minimalis, dengan nuansa hijau yang menyejukkan dan dikelilingi taman yang rindang. Sisi depan dan belakangnya berdinding kaca. Kamar saya di bagian belakang, lantai tiga, berdekatan dengan dapur yang ada di lantai bawahnya. Salah satu sisinya menghadap ke taman belakang, dengan dinding kaca. Ada sumur modern di dekat kamar dan dapur itu, dengan nuansa kayu yang mengelilinginya. Kamar tidur saya benar-benar nyaman. Di ruang tamu, dindingnya bernuansa hijau muda dengan dinding kaca yang memenuhi hingga lantai-lantai atasnya. Gordennya berwarna krem panjang sekali. Di lantai tiga, ada teras yang terhubung dengan halaman depan.

Entah apa motivasinya saya menuliskan ini. Mungkin untuk mengingat mimpi-mimpi baik yang jarang sekali muncul akhir-akhir ini. Mungkin sebagai penenang. Mungkin hanya akan menjadi sebuah tulisan yang tidak berarti. Mungkin, saya hanya butuh sebuah kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Mungkin.

0 komentar:

Behind the scene,

Manuskrip: Prolog




Halo teman-teman.

Hari ini saya mau ngobrol soal "Manuskrip". Apa itu manuskrip? Manuskrip adalah sebuah proyek pribadi yang berhubungan dengan... masih dirahasiakan sebenarnya, tapi sepertinya bakal mudah ketebak. Sebagai gank KBBI, saya mau menjelaskan si "Manuskrip" ini berdasarkan pengertian dari kamus.

ma.nus.krip
n naskah tulisan tangan yang menjadi kajian filologi:
n naskah, baik tulisan tangan (dengan pena, pensil) maupun ketikan (bukan cetakan).

Jadi "Manuskrip" adalah, naskah yang belum tercetak. Nah benar kan bisa ketebak dengan mudah? =))

Sebagai pengantar, saya ingin membuat beberapa pengakuan. Pertama, saya suka menulis. Awalnya suka menulis blog (tapi ini angin-anginan, lihat saja riwayat blog lama saya yang lama sekali terbengkalai tak tersentuh hingga jamuran), lalu setelah berkenalan dengan forum tulis-menulis yang asyik bertemakan Harry Potter, saya jadi suka menulis forum. Di sana saya bertemu dengan teman-teman penulis (yang tidak sedikit adalah seorang penulis profesional ditandai dengan sudah menelurkan novel). Saya jadi banyak belajar untuk meng-upgrade tulisan saya sendiri dan pada akhirnya kenal dengan KBBI, EYD (yang namanya berubah menjadi EBI) dan pada akhirnya bertekad untuk menjadi seorang penulis juga. *yosh*

Kedua, saya suka membaca. Kesukaan saya dalam membaca sebenarnya sudah dirasakan sejak saya masih kecil. Namun karena keterbatasan ekonomi, saya baru bisa memuaskan kebutuhan yang satu ini setelah mempunyai penghasilan sendiri. Kalau mau tahu apa yang sudah saya dapatkan selama bekerja beberapa tahun ini, maka tengoklah rak buku saya yang isinya semakin lama semakin meluap-luap.

Ketiga, dalam proses "mengawinkan" antara kesukaan menulis dan membaca inilah saya mulai merintis blog khusus tentang buku, namanya Resensi Buku Nisa (klik tautan). Usianya baru dua tahun tapi isinya sudah banyak; tulisan dan follower saya di sana melebihi blog lama yang usianya tahun depan satu dasawarsa! Dan karena saya suka membaca buku itulah saya menemukan beberapa buku yang kurang sreg untuk saya baca. Hehehe, saya bukan kritikus buku, lebih tepat kalau disebut penikmat cerita. Dan kekurangsregan terhadap satu dua cerita itu wajar karena saya adalah seorang "penikmat". Ada yang bagus, ada yang tidak. Ini menggelitik saya untuk berpikir bahwa, "Saya bisa membuat yang lebih baik dari itu!" Tentu saja ini selfclaimed, hanya klaim sepihak dalam benak saya.

Saya juga jadi ingat dengan sebuah kutipan (yang saya favoritkan di twitter, tentu saja, saya tidak bisa menghafal detail kata-katanya).

"Jika ada buku yang benar-benar ingin dibaca, namun belum pernah ditulis, maka Anda sendiri yang harus menulisnya." Toni Morrison

Akhirnya saya memutuskan untuk hiatus dari forum tulis-menulis selama satu term dan fokus menulis "Manuskrip". (Note: Hiatusnya kebablasan sampai sekarang, wkwkwk.)

Sempat kebingungan (pake "banget") tentang jenis tulisan apa yang akan saya buat. Fiksi? Sudah jelas. Namun fiksi bergenre apa? Religi? Hmmm, saya menyadari kalau ekspektasi saya seputar novel religi adalah selevel Habiburahman El-Shirazy atau Asma Nadia, bahkan Sibel Eraslan. Kalau saya belum bisa mendekati kemampuan mereka, saya mundur untuk membuat fiksi religi. Akhlirnya, saya memutuskan untuk menulis teenlit. Kenapa teenlit, bukan kisah romansa usia dewasa muda atau dewasa sekalian? 

Saya teringat satu masa di mana waktu saya masih sekolah, saya teramat senang membaca. Namun, karena keterbatasan dana, saya tidak bisa memuaskan dahaga dengan membeli novel-novel remaja pada masanya. Saya punya teman dekat yang bernama Dina, dia meminjamkan saya novel teenlit (yang saat itu tengah naik daun sekali). Pengalaman saya membaca dan menyelami genre ini, tentu tak lepas dari sumbangsih teman saya itu. Saya menyenangi novel Cewek karya Esti Kinasih. Lalu Dealova, Dua Kepiting Melawan Dunia, Me vs High Heels, Kana di Negeri Kiwi, dan masih banyak lagi. Iya, saya bacanya modal pinjam doang, hahaha, karena sungguh, saat itu saya tidak punya modal sama sekali untuk membeli buku bacaan.

Lalu, setelah saya berpenghasilan sendiri, saya mulai membeli buku-buku apa pun yang saya mau. Dan ketika saya berniat nostalgia membaca novel-novel teenlit, yang ada justru kekecewaan. Entah saya yang tidak lagi cocok dengan genre ini ataukah memang saya merasa tidak mendapatkan apa yang saya inginkan dari genre teenlit sekarang. 

Akhirnya, setelah pergulatan yang panjang dalam benak saya, saya memutuskan untuk membuat sebuah naskah teenlit. Riset pun tidak susah karena setiap harinya saya bertemu dengan anak-anak remaja. Mencoba memahami isi kepala mereka rasanya, tidak susah. Dan yang paling penting adalah... saya ingin menyajikan sebuah cerita yang tidak hanya sekadar cerita berupa drama percintaan belaka, yang bisa mereka petik pelajaran berharganya dari membaca. Juga, saya ingin menyuguhkan sebuah bacaan yang sesuai dengan usia mereka. 

Akhirnya (dan ini benar-benar terakhir), saya mempersembahkan tulisan ini, sebagai sebuah prolog pengantar manuskrip-manuskrip saya yang akan terbukukan menjadi sebuah novel. Sebagai sebuah pengantar, semoga bisa menjadi pembuka dan awalan yang manis untuk saya bercerita tentang karya-karya saya selanjutnya.

Salam.



Akhir Maret, 2017


Nisa Rahmah


____________
Source pict, edited by me


0 komentar:

catatan sehari-hari

Lari...





Kami selalu berlari dari kenyataan.
Tidak ada yang mau terkait duluan.
Lalu, ketika semuanya sudah terlalu jauh meninggalkan.
Lantas siapa yang mau menarik kembali duluan?
Aku?
Kamu?
Kita?
Semuanya menampakkan muka belakang karena tidak ada yang berani untuk tampil duluan.





____
source pict

0 komentar:

catatan sehari-hari

5 Hal yang Membuatku Bahagia



Selamat malam.

Hmmm, sebenarnya, saya mau share hal-hal sederhana yang membuat saya bahagia. Syukurlah, mereka semua itu, kalau dirupiahkan, masing-masingnya masih terjangkau kok. Karena, bahagia itu nggak musti mahal. Benar?



Lima,

Mocha float KFC. Saya suka sekali dengan mocha float. Harganya 9500 saja (di konter lain naik seribu). Kebahagiaan saya memang sesederhana itu.


Empat,

Chicken caramel. Wah, ini enak sekali lho, apalagi kalau dicocol dengan saus keju. Mmmm. Harganya juga satu porsi cuma 20000. Kalau mau ayamnya saja, enam potong hanya 25000. Kalau sudah makan ini, sampai jilatan tangan terakhir pun masih terasa enaknya.


Tiga,

Cheeseburger McD. Saya senang sekali dengan cheeseburger. Biasanya beli di McD yang langsung paketan. 35000 saja.


Dua,

Buku. Jangan ditanya lagi. Beri saja saya buku maka saya akan membagikan kebahagiaan saya pada orang yang memberikannya itu. Apalagi, kalau bukunya adalah buku yang masuk ke dalam wishlist saya.


Satu.

Kepastian. Ah sudahlah, yang ini sih tidak perlu dibahas ya, semua sudah jelas....




0 komentar:

catatan sehari-hari

Jangan Sedih Karena...




Saya sedang menghibur diri. Sebenarnya, saya itu punya masalah psikis yang cukup kompleks, hehehe akhirnya ngaku. Dan akhir-akhir ini, saya punya terapi diri dengan menulis. Karena, dengan menulis sesuatu, saya sedang mengalirkan energi positif dalam diri dan membuangnya di tempat yang semestinya. Hehe. Intinya, malam ini saya sedang sedih. Namun, sayangnya, sedihnya itu hanya karena masalah sepele. Benar-benar sepele. Sehingga sepertinya, setelah kesedihan ini mereda beberapa menit lagi, saya biasanya bakal menyesali apa yang sudah saya tuliskan.

Khusus malam ini, saya tidak akan menghapusnya dan membiarkan tulisan ini di sini untuk obat hati di masa yang akan datang.


Pertama, jangan sedih karena merasa diabaikan.

Sepele, tapi saya sering sedih karena itu. Jangan selalu ingin di-notice, baik itu di grup WhatsApp (saya lagi melempar topik di beberapa grup WhatsApp tapi tidak ada yang merespons   😭 ), atau di mana pun (terutama di dunia maya). Atau bahkan di dunia nyata.

Dan saya sedih.

Tapi, saya tahu kalau saya tidak boleh sedih hanya karena hal sepele semacam ini.


Kedua, jangan sedih karena ekspektasi berlebihan.

Saya sering mengalami kekecewaan dikarenakan ekspektasi. Ini memang sebuah perkara abstrak. Ekspektasi sering muncul dengan sendirinya. Meskipun, ekspektasi itu hadir dikarenakan proses sebab-akibat. Disebabkan harapan membumbung tinggi pada sesuatu, mengakibatkan ekspektasi itu meningkat pesat. Saya sedang melakukan sesuatu, yang memiliki ekspektasi tinggi sebagai timbal baliknya. Tapi, setelah ditunggu-tunggu, tidak ada yang terjadi setelahnya. Ekspektasi saya menghancurkan saya sebegitu dalamnya. Dan ini, benar-benar tidak dibenarkan.

Dan saya sedih.

Tapi, saya tahu kalau saya tidak boleh sedih hanya karena ekspektasi saya tidak sesuai dengan kenyataan.


Ketiga, jangan sedih (yang berlebihan) ketika mengalami kegagalan.

Saya jadi ingat lirik lagi Bondan feat Fade 2 Black ini:


Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah.
Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah.

Ya, ya sudahlah. Ketika mengalami kegagalan, jangan sedih berlebihan. Bangkit lagi. Mulai lagi. Karena, itu berarti ujian kita sedang ditinggikan standarnya, dan ketika kita berhasil melampaui standar itu, kita akan mendapatkan tempat yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ya ya ya, saya memang khatam kalau disuruh menerangkan atau memberikan motivasi seputar kegagalan. Akan tetapi, tentang bagaimana praktiknya, itu kembali pada diri masing-masing dan level ujian mereka. Saya berkali-kali gagal hingga harus terus diremedial hingga tuntas. Jadi, untuk masalah ini, teori saja tidak cukup. Dan karena saya sudah paham teorinya bahkan di luar kepala..., maka saya tidak boleh sedih berlebihan.

Boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut.


Keempat, jangan sedih ketika tidak ada yang selalu ada untukmu.

Mari kita lanjutkan lirik di atas:


Apa pun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu.
Janganlah kau bersedih, cause everything is gonna be ok.

Tapi, kalau tidak ada yang selalu ada untukmu, selalu mendengarkan ceritamu, selalu mengatakan kalau segalanya akan baik-baik saja, all iz well, maka jangan bersedih.

Hehe. Bagian ini kalau dijabarkan bakal menguras energi dan pikiran. Jadi, dicukupkan sampai di sini saja.

Boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut. Karena, suatu saat akan ada yang selalu menyemangatimu dan mengusap peluhmu, merengkuh cita-citamu, menjadikanmu prioritas dalam hidupmu. Tenang saja. Akan ada masanya untuk itu.


Saya tidak akan menyimpulkan tulisan ini. Tapi, saya akan terus mengenangnya. Menjadikan penenang ketika kesedihan semacam itu kembali datang menyerang. Menjadi pengobat di saat tidak ada lagi yang bisa dilakukan. 

Jadi, jangan bersedih, kawan.

0 komentar:

catatan sehari-hari

Fly Me to the Moon



Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand

In other words, baby, kiss me

Source


Kau pernah mengatakan padaku bahwa "tempat itu" hanya akan mengungkung potensi besar yang ada pada diriku
Dulu
Beberapa waktu dari sekarang, aku akan terbang dari "tempat itu"
Namun, apakah kau masih akan di sana, merentangkan sayapmu untuk menyambutku? 
Apakah pelukan hangatmu akan hadir untuk merengkuh mimpi besarku?
Sama seperti kau tahu, aku pun tahu, jawaban "tidak" adalah niscaya
Tapi aku akan tetap terbang
Ada atau tiadanya dirimu nanti
Di sana


Fill my heart with song and let me sing for ever more
You are all I long for
All I worship and adore
In other words, please be true
In other words, I love you
Fill my…

0 komentar:

catatan sehari-hari

Apa yang Bisa Dibanggakan Anakku Kelak?




Beberapa hari ini, ketika saya meluaskan sosial media dan bertemu dengan teman-teman lama di dunia maya, rasanya senang saat mendengar berita beberapa teman sedang berbadan dua. Teman-teman saya itu, yang dulunya senasib dan sepenanggungan, masih sama-sama belia, kini sedang menunggu bertambahnya tanggung jawab baru dalam hidup mereka. Rasanya, waktu berjalan begitu cepat, sekeliling saya sudah berubah begitu pesat. Sementara saya? Sepertinya saya begini-begini saja. Tidak ada sesuatu yang spesial dengan hidup saya.

Sementara itu, teman-teman saya berbagi kebahagiaan melalui status-status mereka. Tentang cerita-cerita seputar kehamilan yang tidak hanya mereka bagi pada pengguna sosial media lainnya, tapi mereka juga sedang berbincang pada calon anak mereka, yang pada akhirnya, suatu saat nanti, cerita itu akan sampai pula ke telinga-telinga mungil yang kini tengah berkembang di alamnya sana, yang tengah menanti-nanti kapan giliran tampil ke bumi tiba.

Rasanya, jahat kalau saya iri dengan kebahagiaan yang sedang mereka bagi. Sepertinya, saya merasa kehilangan empati jika saya menunjukkan rasa iri itu. Lagi pula, penyakit hati semacam iri hanya akan merusak diri sendiri. Namun, saya akan jujur mengatakan, bahwa tebersit rasa iri dari dalam hati saya. Pertanyaan-pertanyaan seputar, kapan saya bisa mengalami masa membahagiakan itu? Kapan kiranya Tuhan memberikan tanggung jawab serupa pada saya?

Saya tahu, bahwa perasaan itu jika didiamkan terlalu lama sungguh tak dibenarkan. Namun. pada akhirnya saya termenung. Terlepas dari kapan saya bisa menjadi sosok ibu, yang ada pertanyaan-pertanyaan lain bermunculan. Seperti misalnya, apakah suatu saat anak saya akan bangga memiliki ibu seperti saya? Apa kiranya yang dibanggakan anak saya kelak tentang saya? Sementara teman-teman saya menapaki prestasinya yang gemilang dalam hal karier maupun akademik, saya terhenti pada satu titik, titik terberat dalam hidup saya. Tanpa nama, tanpa dikenal oleh siapa-siapa, dan nyaris tanpa karya. Apalagi, saya mempunyai cita-cita untuk tidak berkarier di luar sana saat saya menikah kelak. Lalu, di tengah kehidupanmu kelak, anakku, apa kiranya yang bisa kaubanggakan dari ibumu ini?

Di sekeliling saya, barangkali saya adalah anomali, karena tidak ingin memiliki karier di luar rumah. Tidak ingin memiliki jam kerja ten to five, karena berharap dapat mendidik dan menikmati perkembangan anak-anak saya nantinya. Saya mempunyai alasan personal untuk memutuskan itu. Meskipun, rasanya konsekuensi berat (terutama tentang berkurangnya penghasilan, nantinya) membayangi keputusan itu. Ini bahkan masih keputusan sepihak. Saya hanya bisa berharap menemukan mulut botol yang pas dengan tutup botol yang saya pegang. Hingga pada akhirnya, keselarasan bakal terjadi dan mimpi serta asa tentang itu, bisa terjalin.

Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali: 

Wahai anakku di masa depan, jika ini cita-cita ibu kelak untuk membesarkanmu, dapatkah kau membanggakan Ibu dalam hati kalian? Mungkin, teman-teman sebaya kalian memiliki ibu yang berprofesi meyakinkan, atau bekerja di instansi ini dan itu. Mungkin, ibu-ibu mereka akan menceritakan bagaimana perjuangan mereka saat mengandungmu. Mungkin, Ibu tidak akan memiliki cerita itu. Dan jika itu yang terjadi, apakah Ibu akan tetap spesial di hati kalian?



Sebuah catatan tengah malam, yang dituliskan pagi hari setelahnya.


0 komentar: